PajakOnline | Pemerintah memperluas jangkauan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dengan memasukkan penghindaran pajak sebagai salah satu tindak pidana yang dapat dikenai sanksi perampasan aset tanpa pemidanaan.
Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Narendra Jatna menegaskan ruang lingkup RUU ini tidak hanya mencakup korupsi, tetapi juga kejahatan ekonomi lainnya.
“RUU Perampasan Aset diusulkan berlaku untuk semua bentuk kejahatan tindak pidana berdimensi ekonomi, mulai dari penghindaran pajak, penipuan, penggelapan, kerusakan lingkungan, hingga kejahatan perdagangan,” kata Narendra dikutip hari ini.
Perampasan aset tanpa pemidanaan merupakan implementasi dari United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU 7/2006. Pasal 54 ayat (1) UNCAC mengharuskan negara peserta mengambil langkah-langkah penyitaan harta tanpa menunggu pemidanaan.
“UNCAC mewajibkan negara mempertimbangkan tindakan yang diperlukan untuk optimalisasi pengambilan stolen asset. Pengadilan dapat menetapkan perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana,” tambah Narendra.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan pihaknya sedang mematangkan draf final RUU bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
RUU Perampasan Aset mendapat dukungan langsung dari Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan, “Dalam rangka pemberantasan korupsi, saya mendukung RUU Perampasan Aset. Enak saja, sudah nyolong enggak mau kembalikan aset,” di hadapan ribuan buruh pada peringatan May Day (1/5/2025).
Pembahasan RUU ini telah dimulai sejak era Presiden Joko Widodo namun belum tuntas hingga saat ini. (Khairunisa Puspita Sari)