Oleh: Edi Purwanto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
PajakOnline.com—Satu bulan terakhir ini, saya hampir setiap hari kedatangan wajib pajak yang ingin konsultasi karena mendapat surat imbauan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Ada satu pertanyaan yang hampir selalu diajukan oleh wajib pajak yang datang, “Jika tidak ikut PPS, akankah diperiksa?” Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
Pemeriksaan Pajak
Merujuk ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), tujuan pemeriksaan adalah untuk kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan pajak dalam rangka pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Adapun hasil pemeriksaan berupa surat ketetapan pajak (SKP). Hal ini sesuai ketentuan Pasal 13 UU KUP, bahwa dalam jangka waktu lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
Harta SPT vs Harta DJP
Surat imbauan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada wajib pajak untuk mengikuti PPS berisi perbandingan data harta yang sudah dan belum dilaporkan dalam SPT. Data yang belum dilaporkan dalam SPT diperoleh DJP dari data internal DJP, automatic exchange of information (AEOI), dan instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lain (ILAP).
Data ILAP berasal dari instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lain merujuk ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228/PMK.03/2017. Berdasarkan PP dan PMK tersebut, terdapat 69 ILAP yang wajib menyetorkan data terkait perpajakan kepada DJP. Sebagai contoh adalah Bank Indonesia (BI), yang menyampaikan informasi tentang debitur, meliputi identitas debitur, agunan/penjamin, termasuk laporan keuangan debitur.
Apabila dalam perbandingan harta dalam surat imbauan DJP terjadi perbedaan, antara harta menurut SPT dan harta menurut data DJP, penyebabnya ada dua. Pertama, perbedaan metode pencatatan nilai harta. Nilai harta, selain kas dan setara kas dalam SPT dicatat menurut harga perolehan (historical cost), adapun data lain, seperti LHKPN bedasarkan nilai pasar (market value) saat pelaporan LHKPN. Harta selain kas atau setara kas, yang sudah dilaporkan dalam SPT namun berbeda nilainya, menurut penulis tidak termasuk objek PPS. Perbedaan jumlah nominal saldo kas atau setara kas menjadi objek PPS.
Kedua, perbedaan karena belum dilaporkannya harta dalam SPT Tahunan. Harta yang belum dilaporkan dalam SPT, termasuk selisih lebih kas atau setara kas dari yang dilaporkan dalam SPT inilah yang menjadi objek PPS dan menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini.
Harta yang belum dilaporkan dalam SPT dapat dikategorikan sebagai penghasilan yang berasal dari penambahan kekayaan bersih, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf p UU Pajak Penghasilan (PPh). Hal ini disebabkan harta dimaksud menambah kemampuan ekonomis, dapat dipakai untuk konsumsi, atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan.
Mengingat harta yang belum dilaporkan dalam SPT dapat dikategorikan sebagai penghasilan, maka DJP menawarkan wajib pajak untuk mengikuti PPS dengan konsekuensi membayar PPh final. Sebagai konpensasi, kepada wajib pajak yang ikut PPS diberikan fasilitas perlindungan data.
Data yang ada dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH), tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak. Selain itu, peserta PPS tidak dilakukan pemeriksaan atas kewajiban perpajakan PPh Orang Pribadi sampai Tahun Pajak 2020 kecuali apabila terdapat pajak yang sudah dipotong atau dipungut, tetapi tidak disetorkan.
Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana jika wajib pajak terbukti belum melaporkan hartanya dalam SPT, tetapi tidak ikut PPS? Apakah akan dilakukan pemeriksaan?
Jika Tidak Ikut PPS
Jika berdasarkan surat imbauan PPS terdapat harta yang belum dilaporkan, maka dapat diartikan ada kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi oleh wajib pajak, yakni melaporkan SPT dengan benar dan lengkap. Lebih lanjut, terhadap SPT tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan dalam rangka pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Pemeriksaan dimaksud untuk menguji, apakah harta yang belum dilaporkan dalam SPT berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak atau tidak. Pemeriksaan dilakukan dengan menelusuri kebenaran data dalam SPT dibandingkan dengan data dari pihak ketiga, seperti ILAP, dan keterangan wajib pajak terkait asal usul harta dimaksud.
Apabila harta dimaksud terbukti berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak, maka dapat diartikan terdapat penghasilan yang belum dikenakan pajak. Sehingga kepada wajib pajak dihitung ulang pajak yang seharusnya terutang, dikurangi kredit pajak yang sudah dibayarkan, dan diterbitkan SKPKB guna menagih pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana jika DJP tidak melakukan pemeriksaan? Apabila harta wajib pajak terbukti belum dilaporkan dalam SPT dan DJP tidak melakukan pemeriksaan pajak, maka terdapat potential loss atas penerimaan PPh dari penambahan kekayaan bersih dimaksud, sebagaimana gambar di atas.
Kesimpulan
Wajib pajak yang berdasarkan data pihak ketiga, seperti ILAP, terbukti memiliki harta yang belum dilaporkan dalam SPT maka seharusnya diperiksa dengan memperhatikan asas materialitas.
Pemeriksaan dilakukan dengan tujuan pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, yakni untuk menguji apakah harta yang belum dilaporkan dalam SPT berasal dari penghasilan yang sudah dikenakan pajak atau belum.
Apabila harta dimaksud terbukti berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak, maka dapat diterbitkan SKPKB guna menagih pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar. Jika DJP tidak melakukan pemeriksaan, akan ada kerugian potensi atas penerimaan PPh dari penambahan kekayaan bersih dimaksud.
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
*)Dilansir laman DJP