PajakOnline.com—Zakat dapat menjadi pengurang penghasilan bruto dalam penghitungan penghasilan kena pajak (PKP). Namun, pengeluaran zakat ini harus dibayarkan melalui badan atau lembaga resmi penerima zakat yang dibentuk atau disahkan pemerintah.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) PMK 254/2010, zakat yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh WP badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Zakat atau sumbangan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa uang atau yang disetarakan dengan uang,” demikian kutipan Pasal 1 ayat (3) PMK 254/2010.
Maksud yang disetarakan dengan uang adalah zakat yang diberikan dalam bentuk selain uang yang dinilai dengan harga pasar pada saat dibayarkan.
Dalam hal pengeluaran untuk zakat tidak dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan pemerintah maka pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Oleh karena itu, pembayar zakat perlu mengetahui badan atau lembaga yang telah dibentuk atau disahkan oleh pemerintah yang ditetapkan sebagai sebagai penerima zakat. Saat ini badan atau lembaga tersebut dapat dilihat dalam Lampiran PER-04/PJ/2022 s.t.d.d PER-3/PJ/2023.
Berdasarkan lampiran tersebut, terdapat 3 Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), 35 Lembaga Amil Zakat (LAZ) skala nasional, 2 Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (LAZIZ), dan 33 Lembaga Amil Zakat (LAZ) skala provinsi.
Selain itu, terdapat pula 188 Lembaga Amil Zakat (LAZ) skala kabupaten/kota. Selain memerhatikan badan/lembaga penerima zakat, zakat tersebut harus didukung oleh bukti-bukti yang sah agar dapat dilampirkan saat lapor pajak atau melaporkan SPT Tahunan.
Dalam berita terbaru, Kementerian Agama (Kemenag) RI telah mengusulkan agar zakat dijadikan instrumen pengurangan pajak secara langsung.
Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan, jika zakat dijadikan pengurang pajak secara langsung, penerimaan zakat di Indonesia akan meningkat secara signifikan.
Dia mencontohkan, Malaysia telah menerapkan kebijakan ini, di mana pembayaran zakat dapat mengurangi jumlah pajak terutang.
“Di Malaysia, kuitansi pembayaran zakat dijadikan faktor pengurang pembayaran pajak. Jika hal ini bisa diterapkan di Indonesia, kita mungkin bisa mencapai hal yang sama, mengolaborasikan bahasa agama dengan kebijakan negara untuk mengentaskan kemiskinan,” kata Nasaruddin dalam keterangan resminya dikutip Selasa (18/3/2025).
Nasaruddin menegaskan, pihaknya akan terus memperjuangkan usulan ini guna memperkuat sinergi antara kebijakan negara dan nilai-nilai agama dalam mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Kolaborasi antara zakat dan kebijakan pajak dapat menjadi langkah besar dalam memberantas kemiskinan dan menciptakan keadilan sosial,” katanya.
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag Waryono Abdul Ghafur juga menyampaikan, saat ini zakat di Indonesia hanya berfungsi sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP), bukan sebagai pengurang pajak yang harus dibayarkan. Menurutnya, kebijakan yang berlaku saat ini belum mampu memaksimalkan potensi zakat untuk kesejahteraan umat.