PajakOnline.com—Agresivitas pajak merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan perusahaan untuk mengurangi kewajiban pajaknya. Agresivitas pajak ini juga merupakan tindakan perencanaan pajak secara legal maupun ilegal untuk menurunkan laba kena pajak. Tetapi, tidak semua perusahaan yang melakukan perencanaan pajak (tax planning) dianggap melakukan agresivitas pajak.
Biasanya perusahaan sebagai wajib pajak badan memanfaatkan kelemahan yang ada dalam undang-undang (UU) maupun peraturan perpajakan lainnya. Kelemahan tersebut disebut grey area, yakni celah atau kelonggaran regulasi yang berada antara praktik perencanaan atau perhitungan pajak yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.
Suatu perusahaan dikatakan melakukan agresivitas pajak apabila perusahaan berusaha mengurangi beban pajak secara agresif, baik menggunakan cara yang tergolong legal yakni tax avoidance atau ilegal seperti tax evasion. Perusahaan yang melakukan tindakan pajak agresif bisa jadi memiliki risiko lebih tinggi yakni berupa ancaman sanksi atau denda, hingga risiko turunnya harga saham serta reputasi perusahaan, bila tindakan agresivitas pajak ketahuan melanggar aturan.
Bagi pemerintah, praktik penghindaran pajak secara agresif ini tentu saja membawa kerugian. Lantaran tindakan tersebut berpeluang besar mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak.
Berikut contoh praktik agresivitas pajak:
1. Melakukan Leverage
Leverage merupakan penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap (fixed rate of return). Tujuannya memberi keuntungan lebih besar dari biaya tetapnya sehingga akan meningkatkan pengembalian bagi pemegang saham. Aplikasi dari leverage melalui sumber dana melalui utang. Bunga yang harus dibayar oleh perusahaan akibat utang merupakan beban tetap. Di sisi lain, semakin besar utang maka laba kena pajak perusahaan semakin kecil, dengan begitu praktik ini dapat dikategorikan sebagai tindakan pajak agresif.
2. Mengadakan CSR
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab perusahaan merupakan konsep bahwa organisasi khususnya perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap segala aspek operasional perusahaan yang menimbulkan masalah pada lingkungan, konsumen, maupun tenaga kerja. Dalam praktik pajak agresif, perusahaan biasanya melakukan CSR berlebihan hingga membuat pendapatan yang menjadi objek pajak penghasilan perusahaan berkurang. Ketika pendapatan dimaksud digunakan untuk program CSR, pemerintah akan kesulitan melacak cashflow yang terjadi.
3. Membeli Saham Dalam Jumlah Minim
Sejumlah perusahaan biasanya berinvestasi dalam jumlah kecil atau minim pada perusahaan atau badan usaha lain. Deviden yang diterima oleh PT akan dikategorikan sebagai pendapatan yang tidak termasuk objek pajak dengan syarat PT memiliki saham paling sedikit 25% dari jumlah modal disetor.
Berikut ini faktor yang memengaruhi agresivitas pajak:
1. Likuiditas Perusahaan Rendah
Likuiditas dapat diukur dengan membandingkan aset lancar dengan utang lancar. Likuiditas yang rendah dapat mencerminkan perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek. Kesulitan likuiditas dapat memicu perusahaan tidak taat terhadap peraturan pajak sehingga dapat mengarah pada tindakan agresif terhadap pajak perusahaan.
Tindakan ini dilakukan oleh perusahaan untuk mengurangi pengeluaran beban pajak dan memanfaatkan penghematan yang dilakukan untuk mempertahankan arus kas. Oleh karena itu, perusahaan dengan rasio likuiditas yang rendah akan cenderung memiliki tingkat agresivitas pajak yang tinggi.
2. Return on Asset Tinggi
Return on Asset (ROA) merupakan salah satu rasio yang dapat menggambarkan profitabilitas atau potensi laba perusahaan. ROA yang tinggi mencerminkan profitabilitas perusahaan yang tinggi pula, dan menyebabkan beban pajak semakin besar. Lantaran pajak penghasilan perusahaan akan dikenakan berdasarkan besarnya penghasilan yang diterima perusahaan. Hal ini mendorong perusahaan untuk melakukan aktvitas agresivitas pajak, agar pajak tersebut tidak mengurangi terlalu banyak laba yang diperoleh perusahaan.
Sebenarnya pemerintah telah melakukan beragam cara untuk menekan angka agresivitas pajak, salah satunya dengan memperbarui regulasi yang berlaku serta melakukan kajian intensif. Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga senantiasa melakukan pemeriksaan laporan pajak perusahaan untuk menelaah kepatuhan perusahaan dalam menghitung, membayar, dan melapor pajak sesuai peraturan yang berlaku.
Praktik agresivitas pajak ini sendiri merupakan praktik yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun, lantaran aktivitas ini dilakukan dengan niat mengurangi kewajiban pajak. (Azzahra Choirrun Nissa)