PajakOnline | Massifnya penggunaan teknologi kecerdasan buatan atau AI (Artificial intelligence) membuka peluang baru bagi perluasan basis pajak Indonesia. Direktur Eksekutif IEF Research Institute Ariawan Rahmat menyoroti potensi penerimaan pajak dari ekosistem AI yang belum tergarap secara optimal.
“Namun, di balik kemajuan ini, muncul pertanyaan mendasar: sudahkah negara hadir untuk mengelola potensi pajak dari ekosistem AI ini?” kata Ariawan, dikutip Rabu (14/5/2025).
Berdasarkan data SimilarWeb 2024, Indonesia termasuk dalam lima besar negara pengguna ChatGPT terbanyak di dunia.
Sementara itu, YouTube mencatat peningkatan sebesar 200% dalam unggahan video berbasis AI di Asia Tenggara sepanjang 2023.
“Ini menjadi indikator massifnya penetrasi teknologi AI dan potensi pendapatan digital yang menyertainya,” kata Ariawan.
Laporan Work Trend Index 2024 dari Microsoft dan LinkedIn menunjukkan bahwa 92% pekerja pengetahuan (knowledge workers) di Indonesia telah menggunakan AI generatif dalam aktivitas kerja mereka—angka tertinggi di dunia, melampaui rata-rata global (75%) dan Asia Pasifik (83%).
“Dengan kata lain, Indonesia saat ini menjadi negara dengan tingkat adopsi AI generatif tertinggi di dunia,” kata Ariawan.
Platform AI seperti ChatGPT, Midjourney, Suno, hingga Copilot kini dimanfaatkan berbagai lapisan masyarakat mulai dari pelajar, pelaku UMKM, hingga kreator konten profesional untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, bahkan menciptakan sumber penghasilan baru.
Ariawan menyoroti kemunculan ekosistem ekonomi kreator berbasis AI sebagai transformasi nyata dalam lanskap ekonomi digital. Para kreator Indonesia kini mampu memproduksi konten secara mandiri dan memonetisasinya di platform seperti YouTube, TikTok, dan Spotify dengan memanfaatkan ChatGPT Plus untuk menulis skenario, Midjourney untuk menciptakan visual, hingga Suno untuk menghasilkan musik.
Menurut Ariawan, ada dua sumber utama potensi pajak dari fenomena ini.
Pertama, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas layanan AI berbasis langganan melalui skema Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Layanan seperti ChatGPT Plus, Midjourney, dan Suno mengenakan biaya langganan dalam dolar AS. Jika diasumsikan terdapat satu juta pengguna AI berbayar di Indonesia dengan rata-rata pengeluaran USD20 per bulan, nilai transaksi bulanan mencapai USD 20 juta atau sekitar Rp330 miliar. Dengan tarif PPN 11%, potensi penerimaan negara mencapai Rp36,3 miliar per bulan.
“Namun, kenyataannya, belum semua platform AI masuk dalam daftar pelaku usaha PMSE yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Artinya, potensi PPN dari langganan tersebut belum tertagih secara optimal,” ungkap Ariawan.
Kedua, potensi Pajak Penghasilan (PPh) dari para kreator konten berbasis AI. Hitungan Ariawan, seorang kreator bisa meraup USD 1.000 hingga USD 3.000 per bulan dari konten yang dibuat dengan bantuan AI.
Namun, tanpa sistem pelaporan dan pelacakan yang memadai, potensi penerimaan PPh ini bisa dengan mudah lolos dari pengawasan fiskus.
Ariawan menekankan pentingnya kehadiran negara dalam mengelola dan memaksimalkan potensi fiskal dari ekosistem AI. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah memperluas cakupan PMSE hingga membangun sistem pelacakan transaksi digital yang akurat. (Khairunisa Puspita Sari)