PajakOnline.com—Reformasi pajak terus dilakukan oleh pemerintah. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan bahwa pada dasarnya reformasi perpajakan sudah dilakukan oleh pemerintah sejak 2015 lalu. Reformasi perpajakan difokuskan kepada lima sektor yakni organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), IT dan database, proses bisnis serta peraturan.
Sepanjang 2015-2019, pemerintah telah melakukan berbagai hal dalam rangka reformasi perpajakan. Di tahun 2015 mengeluarkan kebijakan fasilitas PPh untuk revitalisasi aset, tahun 2016 pemerintah masih memberikan fasilitas PPh untuk revitalisasi aset sekaligus menaikkan PTKP dari Rp24,3 Juta (2013) menjadi Rp54 Juta, serta mengeluarkan kebijakan Tax Amnesty. Hasil TA adalah pemerintah menerima uang tebusan mencapai 1% PDB dan di tahun 2017.
Reformasi perpajakan di tahun 2017 masih terkait dengan kebijakan tax amnesty dan konfirmasi status WP atau Wajib Pajak, tahun 2018 pemerintah mengeluarkan empat kebijakan penting yakni penurunan tarif pajak UMKM menjadi 0.5%, percepatan restitusi, peningkatan kepatuhan, dan manajemen risiko terhadap kepatuhan. Tahun 2019, pemerintah mengimplementasikan AEoI, targeted incentives, manajemen risiko kepatuhan, dan peningkatan kapasitas teknologi informasi.
Seperti apa hasil reformasi pajak yang dilakukan hingga kini? Apa saja upaya yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membangun sistem informasi perpajakan? Kapan Indonesia memiliki sistem perpajakan yang terintegrasi dari hulu ke hilir? Berikut jawaban Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP kepada Abdul Koni dan Zulkarmedi Siregar dari PajakOnline.com :
Seperti apa hasil reformasi pajak yang dilakukan sejak tahun 2015?
Pilar utama reformasi pajak yang kita gunakan dominan pada perubahan sistem informasinya. Tentu, reformasi pilar yang lain tetap kita kerjakan secara kompehensif, seperti SDM, organisasi, proses bisnis dan regulasi. Kita ingin membuat sistem informasi yang komprehensif dan terintegrasi. Selama ini kita sebenarnya sudah menggunakan sistem informasi yang dimulai sejak tahun 2002. Kapasitasnya sangat terbatas, banyak tambal sulamnya. Aplikasi yang kita miliki berjalan sendiri-sendiri, disambung-sambungi. Bukan hal yang bagus. Ke depan hingga tahun 2024, kita membangun sistem informasi yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Seluruh proses perpajakan kita tersistem.
Karena ini pekerjaan besar, sistem dan aplikasi besar, membutuhkan anggaran yang besar, persiapannya cukup besar. Saat ini, kita pada tahap akhir pengadaan, dikerjakan selama satu tahun, mulai dari Desember tahun kemarin sampai Desember tahun ini. Internasional dan domestik bisa ikut lelang. Prosesnya memang panjang.
Dari sisi organisasi dan SDM, reformasi yang dilakukan seperti apa?
Kita terus melakukan reformasi di pilar itu. Seperti kemarin, kita melakukan kick off, perombakan KPP Pratama. Sebenarnya itu mau berbarengan dengan penambahan KPP Madya, tapi kita masih menunggu persetujuan dari Kementerian Aparatur Negara. Kita ingin menambah, dari 20 menjadi 38 KPP Madya. Intinya adalah perluasan basis pajak. Wajib-wajib pajak yang sudah setel kita masukkan ke KPP Madya. KPP Pratama lebih fokus menggarap WP yang selama ini belum membayar pajaknya dengan baik. Sudah punya NPWP, tapi tidak pernah lapor, tidak setor atau yang belum memiliki NPWP. Untuk KPP Pratama tentu membutuhkan SDM yang lebih banyak. Untuk internal, kita melakukan perbaikan melalui mekanisme mutasi dan promosi yang berbasis kinerja. Remunerasi terus kita perbaiki.
Reformasi proses bisnis pajak?
Proses bisnis terus kita sempurnakan dengan menyambungkan pada sistem informasi yang kita bangun. Proses bisnis pelayanan sifatnya tersistem dan otomasi. Arah pelayanan kita ke depan adalah yang tersentralisasi. Otomasi itu kan kental dengan sentraliasi. WP di mana pun ketika masuk pada proses pelayanan, mengajukan permohonan bisa dengan sistem online, tidak perlu campur tangan orang-orang di KPP. Ke depan, untuk pelayanan-pelayanan yang masih membutuhkan pengkajian-pengkajian orang, tempatnya kita pusatkan di kantor pusat pajak. Prosesnya online, tapi prosesnya tidak di KPP, tapi di kantor pusat. Hasilnya, nanti juga akan disampaikan melalui online. Tapi, memang masih ada pelayanan yang dilakukan di counter. Misalnya, WP yang perlu dilakukan penelitian ke lapangan.
Untuk proses bisnis yang sifatnya otomasi menggunakan sistem click counter, misalnya pelayanan SPT. Sedangkan yang call adalah pekerjaan yang sifatnya di back office dan yang ketiga di counter, ini pekerjaan yang ada di KPP karena masih membutuhkan penelitian di lapangan dan interaksi dengan WP.
Reformasi regulasi dan hubungannya dengan omnibus law perpajakan?
Sebelumnya, kita sudah mempersiapkan reformasi terhadap UU perpajakan kita, terkait isu UU KUP, PPN dan PPh. Kita mulai kemarin dengan tax amnesty. Ada juga UU untuk akses informasi keuangan. Paket selanjutnya sebenarnya perubahan UU KUP, PPN dan PPh. Undang-undang KUP sebenarnya sudah kita serahkan sejak 2016 tapi sampai sekarang belum dibahas di DPR. Dari beberapa subtansi perubahan UU itu, agar lebih cepat dan efisien prosesnya kita buatlah omnibus law perpajakan. Hal-hal yang penting dalam tiga UU itu kita buatkan dalam satu UU khusus melalui omnibus law yang kita sebut UU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang sekarang sudah ada di DPR untuk dibahas.
Regulasi ini kan sifatnya dinamis. Aturan dibawah UU juga banyak yang kita lakukan perubahan agar kita bekerja memiliki payung hukum yang jelas. WP pun merasa nyaman karena ada kepastian. Intinya, tahun 2024 semua sudah terintegrasi melalui sistem informasi digital yang kita bangun.
Apakah integrasi itu juga berhubungan dengan lembaga lain seperti BUMN PLN?
Kerja sama dengan PLN sudah berjalan dalam format collaborative compliance. WP kita ajak terbuka karena kami bisa mengakses sistem mereka. Kita juga bisa melakukan pembinaan. Dengan keterbukaan itu, kami bisa melakukan pendampingan hari per hari. Jika dalam pemeriksaan kita ada sesuatu yang janggal, pada hari itu juga bisa diperbaiki. Integrasi perpajakan seperti itu yang akan kita lakukan ke depan. Namun, untuk permulaan kita lakukan dengan BUMN-BUMN dulu. Sebagai lembaga plat merah, mereka sangat koperatif.
Kerja sama yang kita bangun terdiri dari tiga sisi. Pertama, dari penerbitan faktur pajak. Data-data mereka masuk ke kita, data-data suplier mereka juga, kemudian masuklah SPT PPN mereka lansung, real time. Pada hari yang sama, bisa dilihat apa kekurangannya dan hari itu juga bisa diperbaiki. Di akhir bulan, sama-sama bisa dilakukan pemeriksaan ulang
Kedua, bukti potong SPT atau PPh. Ini kerja sama dengan Pertamina dan PLN. Dia menerbitkan bukti potong elektronik kepada pihak yang dipotong. Dengan pihak BUMN itu, sudah berjalan tiap hari. Kalau sekarang ada empat SPT, sekarang cukup satu saja. Baru diakhir bulan, diperiksa detailnya.
Ketiga, di PPh badan. Kita melihat traksaksi mereka. Kita lihat semua, ada biaya yang dibebankan atau tidak. Itu tiap hari kita lihat. Akhir bulan dicocokkan lagi. Kalau ada perbedaan mencolok, kita diskusi lebih dalam lagi. Intinya, bagi WP tadi, di ujung tahun sudah merasa nyaman, karena sudah melakukan tahapan-tahapan. Sehingga resiko WP untuk diperiksa itu hampir zero. Resiko untuk diperiksa sangat kecil. Kalau diperiksa itu kan membutuhkan energi lebih lagi. Itu yang kita minimalisir. Dari sisi kita, energi kita juga bisa dimanffaatkan untuk memeriksa WP lain. Ini akan berkembang terus ke BUMN lain. Dan tidak tertutup kemungkinan akan diteruskan ke perusaaan swasta yang besar.
Artinya, dengan sistem tersebut DJP akan memiliki Big Data?
Itu efek sampingnya. Yang kami utamakan, sistem perpajakan dari WP sudah baik. PLN misalnya, dia beli barang dari mana, jenis barangnya apa, sudah dipotong pajak atau tidak. Kalau belum kita lakukan pembinaan. Dengan sistem informasi yang terintegrasi ini akan berkontribusi lebih besar lagi bagi pendapatan negara dari sektor pajak.
Baca Juga : Tahun 2020 DJP Fokus Pada Perluasan Pajak
#PajakOnline #BanggaBayarPajak #IndonesiaMaju