PajakOnline.com—Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI Mardani H Maming mengapresiasi kebijakan fiskal termasuk perpajakan pemerintah dalam merespons pandemi corona atau Covid-19 yang telah mengakibatkan perlambatan ekonomi global maupun nasional.
Namun demikian, sejumlah saran disampaikan sebagai bahan pemerintah melakukan koreksi kebijakan. Salah satu yang disoroti adalah implementasi kebijakan program kartu prakerja.
“Menurut saya, program tersebut kurang tepat untuk diterapkan saat ini. Pasalnya, banyaknya pegawai yang dirumahkan dan di PHK bukan karena buruknya kinerja perusahaan tapi terdampak pandemi Covid-19,” ungkap Maming.
Maming menyebut, pemerintah idealnya fokus kepada karyawan yang terdampak PHK atau dirumahkan. Bantuan langsung tunai (BLT) dirasa lebih tepat dilakukan saat ini kepada korban PHK atau mereka yang dirumahkan tanpa gaji untuk dapat bertahan selama masa pandemi ini.
“Program kartu prakerja sebaiknya ditunda agar bisa ada bantuan langsung kepada pegawai,” kata Maming dalam keterangan pers yang dirilis HIPMI pada Rabu (3/6/2020).
Dalam pernyataan kepada pers sebelumnya, HIPMI mengharapkan kebijakan pemerintah fokus menyasar kepada sektor riil. Pemerintah harus memastikan stimulus yang diinjeksi menciptakan efek berganda kepada roda ekonomi nasional.
“Seperti program kartu prakerja seharusnya dialihkan ke hal yang lebih riil. Kita minta program kartu prakerja ditunda dengan dialihkan anggarannya ke bantuan langsung tunai (BLT) kepada korban PHK karena dampak pandemi Covid-19,” kata Maming dalam keterangan pers yang kami kutip pada Jumat (29/5/2020) lalu.
Menurut Maming, tidak elok dalam kondisi sulit seperti ini melakukan pelatihan online. Karyawan yang dirumahkan atau di-PHK bukan karena perusahaannya kacau, tapi karena dampak pandemi Covid-19 seperti di sektor pariwisata dan sektor UMKM yang paling parah terkena dampak.
Maming menjelaskan, peran pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan insentif pajak kepada para pengusaha agar bisa merekrut lagi karyawan yang dirumahkan atau di-PHK sehingga tidak ada pengangguran.
HIPMI juga meminta kepada pemerintah untuk mengurangi kebijakan yang tidak berkaitan dalam pemulihan ekonomi sehingga koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter juga diperkuat agar tidak muncul kebijakan yang tidak diperlukan.
“HIPMI akan terus berupaya menyuarakan yang terbaik untuk kebangkitan sektor-sektor usaha di masa new normal kali ini,” katanya.
Refocusing Anggaran Program Kartu Prakerja
Sebelumnya dalam pemberitaan media ini, sejumlah kalangan mendesak pemerintah untuk melakukan refocusing anggaran program kartu prakerja.
Mengenai program kartu prakerja yang di dalamnya terdapat pelatihan online, dinilai sejumlah kalangan kurang tepat dalam masa krisis saat ini. Apalagi, anggaran yang disiapkan untuk program tersebut mencapai Rp20 triliun, di mana Rp5,6 triliun di antaranya merupakan alokasi untuk pelatihan online.
Korban PHK dinilai lebih membutuhkan bantuan tunai yang diberikan langsung, ketimbang melalui sistem pelatihan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, untuk mengatasi masalah PHK, pemerintah perlu melakukan refocusing dari anggaran-anggaran stimulus, terutama Kartu Prakerja.
Menurut Bhima, seharusnya tidak perlu ada pelatihan online di tengah kondisi krisis. Program Kartu Pra Kerja termasuk pelatihan online di dalamnya menunjukkan adanya pemaksaan konsep di tengah krisis ekonomi dan penanganan dampak Covid-19.
Menurut Bhima, dana sebesar Rp5,6 Triliun untuk pelatihan online program kartu prakerja amat sangat besar dan tidak efektif bagi korban PHK. “Tidak ada jaminan perusahaan mana yang mau tampung lulusan kartu pra kerja tersebut setelah pelatihan? Jadi ini proyek pepesan kosong. Dilatih tapi tidak ada kejelasan permintaan di pasar tenaga kerja,” kata Bhima.
Bhima mengatakan, kartu pra kerja tidak bisa menjawab kebutuhan korban PHK. “Mereka lebih butuh uang tunai dibandingkan pelatihan online yang isinya mirip YouTube. Harusnya dirombak total menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau cash transfer Rp3,5 juta per orang untuk 4 bulan misalnya kan lumayan,” kata Bhima. Yang terakhir, tambah Bhima, mungkin sudah waktunya pemerintah untuk menurunkan segera harga BBM, tarif dasar listrik. “Sehingga bisa membantu daya beli masyarakat,” kata dia.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyebutkan, Kartu Prakerja mungkin kartu termahal di dunia. “Bisa menghabiskan anggaran Rp5,6 Triliun. Bukan uang siapa-siapa, tapi uang negara. Dihabiskan melalui pencari kerja. Uangnya cuma numpang lewat saja, terus dialihkan ke mitra pelaksana pelatihan online, atau Platform Digital. Modusnya hebat. Canggih. Tapi terlalu nyata. Dan agak kotor,” kata Anthony.
Sementara itu, dari kalangan pengusaha dan bankir, Rezza Artha mengatakan, video pelatihan tersebut harusnya gratis, bukan berbayar, tinggal di-upload di platform media sosial, bisa di YouTube, Instagram, Facebook, dan lainnnya. “Tidak perlu dibatasi pesertanya. Semua rakyat bisa akses, bisa cerdas,” kata dia.
Rezza Artha menambahkan, uang untuk membuat video pelatihan online itu anggaran negara, pakai uang rakyat, uang pajak kita.
“Padahal semestinya negara bisa melaksanakan tujuan tersebut dengan anggaran yang jauh lebih murah. Misalnya dengan proyek pengadaan video saja, di mana video dibeli dan menjadi milik negara. Sehingga bisa dinikmati oleh seluruh rakyat dengan (bahkan) gratis. Misal jika 1 video diberi pagu Rp20 juta saja maka itu dikali 1.300 video hanya akan sejumlah Rp26 miliar. Dan bisa didayagunakan oleh jumlah perserta yang tak terbatas dan waktu yang tak terbatas (hingga anak cucu kita),” ungkap Rezza.
Rezza menegaskan, seharusnya anggaran negara dapat lebih dimaksikmalkan untuk menolong rakyat. Ada rakyat yang kelaparan seperti kita saksikan di media massa. “Prioritaskan anggaran itu untuk rakyat. Itu baru namanya amanah mengemban tugas negara,” kata Rezza.