PajakOnline.com—Pemerintah kembali memperpanjang insentif pajak, termasuk sektor kesehatan hingga akhir tahun 2022. Kebijakan tersebut dinilai sangat tepat untuk saat ini mengingat pandemi belum berakhir dan masih bertambahnya penderita Covid-19.
Insentif pajak yang diperpanjang tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 226/PMK.03/2021 yang berakhir pada 30 Juni 2022 melalui penerbitan PMK-113/PMK.03/2022 dan insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemi berdasarkan PMK-3/PMK.03/2022 yang berakhir pada akhir Juni 2022 melalui penerbitan PMK-114/PMK.03/2022.
Ekonom dari Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti merespons perpanjangan masa pemberian insentif pajak kesehatan, agar Indonesia ke depannya tidak tergantung lagi pada impor.
“Ke depannya harus dibenahi tata kelola sektor kesehatan, jangan tergantung impor. Sekarang ketergantungan impor Indonesia semakin tinggi, hal ini berarti Indonesia menyerahkan nasibnya ke negara tersebut,” kata Esther dalam keterangannya, dikutip hari ini.
Esther khawatir jika negara tersebut menaikkan harga, Indonesia mau tidak mau juga harus membayar lebih mahal. Selain itu, Indonesia juga harus menanggung konsekuensinya dengan kelangkaan barang, obat atau alat kesehatan di Indonesia bila negara tersebut menghentikan ekspor ke negara lain.
Oleh karena itu, menurut dia, diperlukan kebijakan yang efektif pada sistem kesehatan Indonesia, sehingga ada transparansi ketersediaan obat dari pabrik (produsen), distributor sampai dengan user di rumah sakit, klinik, farmasi, toko obat lainnya.
Menurut Esther Indonesia sebetulnya memiliki potensi untuk memproduksi obat-obatan sendiri mengingat tanaman herbal sebagai bahan baku sangat berlimpah di Indonesia. Namun masalahnya, biaya produksi relatif mahal dan teknologi produksi tersebut tidak dikembangkan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Esther menyarankan agar melakukan kerja sama dengan perusahaan asing atau mengundang investor asing untuk mendirikan pabrik obat di Indonesia. “Karena banyak mata rantai pasok sektor kesehatan yang putus, misalnya pabrik yang menghasilkan bahan intermediate belum ada di Indonesia,” katanya.
Selain itu, kerja sama tersebut perlu dilakukan selama beberapa tahun sampai Indonesia dapat memproduksi obat-obatan ataupun alat kesehatannya sendiri.