PajakOnline.com—Pemerintah berupaya melaksanakan reformasi perpajakan demi menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan adil. Menciptakan keadilan sistem perpajakan ini termasuk dalam strata penghasilan kalangan dunia usaha dan strata penghasilan kelompok masyarakat.
Dengan demikian, masyarakat yang tergolong tidak mampu tidak perlu membayar pajak. Negara akan memberikan bantuan sosial terhadap kelompok masyarakat tersebut. Sementara masyarakat yang berpenghasilan harus membayar pajak secara proporsional sesuai dengan besaran penghasilan masing-masing.
Selain harus adil, suatu sistem perpajakan harus sehat, efektif, dan akuntabel. Sistem pajak yang sehat mampu menjadi sumber penerimaan negara yang optimal.
Reformasi perpajakan inilah yang menjadi kunci untuk memperbaiki penerimaan negara. Dalam perjalanannya, perpajakan Indonesia telah melakukan reformasi sejak tahun 1983. Hasil reformasi saat itu yaitu mengubah sistem pemungutan pajak yang berdasarkan official assessment menjadi self assessment.

“Reformasi perpajakan tahap selanjutnya adalah mendukung adanya tren perubahan global. Sebagai bangsa yang hidup berdampingan dengan bangsa yang lain dan memiliki hubungan ekonomi global, Indonesia dihadapkan pada kompetisi dan kolaborasi,” kata Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Barat (Jabar) III Muhammad Ismiransyah M. Zain yang akrab disapa Rendy dalam silaturahmi bersama redaksi PajakOnline.com melalui koneksi virtual, belum lama ini.
Perubahan-perubahan global seperti teknologi digital yang semakin mendominasi harus direspons secara tepat. Di dalam negeri, adanya teknologi digital juga mengubah cara masyarakat berinteraksi dan bertransaksi. Memberikan begitu banyak kemudahan.
“Saya senang dengan terminologi tax is a lifestyle dan tax payer, bahwa ke depan pajak ini dengan teknologi yang semakin canggih dapat menjadi gaya hidup yang membanggakan kita semua dan istilah wajib pajak dapat diganti menjadi tax payer karena kesadaran pajak yang meningkat, semuanya sudah membayar pajak,” kata Rendy yang gemar jogging. Di pagi atau sore saat libur, biasanya Rendy lari santai untuk menjaga kesehatan. Sebelumnya, dia aktif bermain golf dan bersepeda. Namun, sekarang ini dia lebih menikmati jogging.
Menurut Rendy, reformasi perpajakan memerlukan dukungan semua pihak, tak hanya pemerintah, aparatur pajak, konsultan pajak, namun juga seluruh warga masyarakat yang sadar akan kewajiban perpajakannya.
Reformasi Perpajakan pada masa pandemi ini, lanjut Rendy, menjadi momentum yang tepat untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian ekonomi global. Uang pajak dapat digunakan untuk pemberian insentif, bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat kurang mampu, program vaksinasi dan kesehatan, dan upaya pemulihan ekonomi nasional.
Hingga saat ini, papar Rendy, Pemerintah telah memberikan beragam insentif pajak melalui program pemulihan ekonomi nasional. Insentif yang telah diberikan meliputi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), PPh final UMKM DTP, pembebasan PPh Pasal 22 impor, pembebasan bea masuk, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, restitusi PPN dipercepat, serta PPN atas sewa unit di mal DTP. Pemerintah juga memberikan fasilitas insentif lainnya berupa PPnBM mobil DTP dan PPN rumah DTP.
Oleh karena itu, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) atau UU HPP yang tidak hanya berisi ketentuan formal tetapi juga ketentuan material, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai, Pajak Karbon, dan Program Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak.
“Di sisi lain, kita harus memperluas basis pemajakan dan meningkatkan tax ratio. Pajak sendiri sebagai instrumen fiskal. Instrumen untuk mendorong dan meningkatkan perekonomian,” kata Rendy.
Melalui upaya pemberian insentif ini, diharapkan makin banyak wajib pajak yang memanfaatkannya dan melaporkan, mendaftarkan diri ke dalam sistem administrasi pajak dan mulai membayar pajak. Tujuan akhirnya, tax ratio bisa meningkat di tahun-tahun mendatang.
Dalam catatan redaksi, tax ratio Indonesia masih di bawah 10%. Hal ini mengindikasikan masih banyak potensi pajak yang belum berhasil dipungut oleh fiskus. Untuk diketahui, tax ratio Indonesia pada 2020 tercatat merosot menjadi sebesar 8,33% akibat pandemi Covid-19. Pada 2021, tax ratio hanya naik sedikit ke level 9,11%. Pada 2022 ini, tax ratio diproyeksikan naik kembali menjadi 9,22% seiring penerapan UU HPP. Tax ratio diperkirakan baru akan melampaui 10% dan menjadi 10,12% pada tahun 2025.

1.Bagaimana tingkat kepatuhan para wajib pajak di wilayah kerja Anda, baik wajib pajak orang pribadi dan badan yang aktif dan melaporkan SPT Tahunan. Apa saja upaya Anda untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak?
-Dari sisi Indikator Utama Kepatuhan yang didasarkan pada jumlah wajib pajak yang
wajib lapor SPT di tahun 2021, tingkat capaian kepatuhan di Kanwil Jawa Barat III sebesar 96,07%.
-Bagi yang mempunyai usaha dan mungkin usahanya sedang rehat atau bangkrut, diimbau untuk mengajukan surat ke kanwil untuk NPWP diubah statusnya menjadi Non Efektif (NE). Wajib Pajak NE atau NPWP NE merupakan status saat Wajib Pajak dikecualikan dari pengawasan administrasi rutin dan kewajiban lapor SPT. Sehingga tidak kena sanksi jika tidak lapor SPT.
-Saat ini, kepatuhan Wajib Pajak memang masih menjadi perhatian kita bersama. Dengan kepatuhan yang tinggi maka penerimaan pajak akan bagus.
-Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan melakukan dan meningkatkan edukasi perpajakan, berkolaborasi dengan perguruan tinggi membentuk Tax Center (Pusat Informasi, Pendidikan, Pelatihan Pajak). Sebanyak 10 perguruan tinggi telah menjadi Tax Center mitra organisasi Kanwil DJP Jabar III;
1.Tax Center Universitas Indonesia (UI).
2.Tax Center Institut Pertanian Bogor (IPB).
3.Tax Center Universitas Gunadarma.
4.Tax Center Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI Kampus Bekasi.
5.Tax Center Institut Agama Islam Tazkia.
6.Tax Center Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
7.Tax Center Institut Bisnis dan Informatika Kesatuan.
8.Tax Center Universitas Ibn Khaldun.
9.Tax Center Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
10.Tax Center Universitas Pakuan.
-Tax center ini mengorganisir mahasiswa dan pengajar sebagai relawan pajak. Relawan pajak bertugas memberikan asistensi pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan melalui e-filing, e-form, dan sosialisasi mandiri tentang perpajakan. Kegiatan tax center beragam dalam ranah edukasi perpajakan seperti seminar, inklusi kesadaran pajak, dan penelitian.
-Jika dibandingkan dengan Jepang, Korea, Singapura, dan Australia dari 100% wajib pajak, 97-98% nya melapor SPT, sementara di negara kita 85% saja belum ada, dari yang aktif. Belum tercapainya angka ini, karena edukasi perpajakan belum maksimal. Perlu dukungan seluruh stakeholders termasuk media massa, para konsultan pajak, relawan pajak, dan juga seluruh lapisan masyarakat.
2. Cara Anda meningkatkan penerimaan pajak di wilayah kerja Jabar III ini?
-Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Barat III terdiri dari 2 unit Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya dan 9 unit KPP Pratama yang tersebar di sejumlah kota dan kabupaten yakni Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi.
-Kami bekerja sama berkolaborasi, bersinergi dengan pemerintah daerah termasuk dalam meningkatkan edukasi perpajakan terhadap kesadaran pajak warga masyarakat, para pelaku usaha, agar hitung, setor, lapor, patuh membayar pajak. Penerimaan pajak yang naik akan berimbas pada pemerataan pembangunan di daerah karena ada bagi hasil dari pajak kepada pemerintah daerah.
3.Apa saja kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan hubungan baik sehingga kesadaran lapor/membayar pajak meningkat?
-Kami menyelenggarakan tax gathering bersama wajib pajak, dan memberikan apresiasi dengan piagam penghargaan kepada Wajib Pajak yang patuh dan taat membayar pajak. Tax Gathering dikemas antara lain dalam konsep Coffee Morning salah satunya bertema Gotong Royong Membangun Negeri, Wujud Sinergi DJP dan Wajib Pajak.
-Dalam kegiatan semacam itu, segala masukan dan keluhan Wajib Pajak di wilayah kerja kami dapat ditampung untuk meningkatkan pelayanan yang pada akhirnya hubungan antara Wajib Pajak dan kami sebagai Fiskus lebih baik.
-Dalam setiap kesempatan, sebagai kepala kantor wilayah selalu terlibat dalam kegiatan sosialisasi kepada wajib pajak yang tergabung dalam kelompok-kelompok dan asosiasi.
-Melakukan perjanjian kerja sama dengan perguruan tinggi yang ada di wilayah kanwil DJP Jawa Barat III sebagai mitra DJP dalam menyampaikan informasi dan edukasi untuk meningkatkan kesadaran kewajiban perpajakan masyarakat.
4.Untuk Program Pengungkapan Sukarela (PPS) bagaimana respons para wajib pajak di wilayah Anda, apakah cukup banyak yang memanfaatkan PPS ini?
Data PPS kanwil DJP Jawa Barat III sampai dengan 17 Maret tercatat 824 Wajib Pajak yang mengikuti PPS ini, dengan jumlah PPh Final yang dibayarkan adalah sebesar Rp80,16 miliar.

5. Apakah Anda tetap menjalankan intensifikasi dan ekstensifikasi di masa pandemi seperti ini?
Program intensifikasi dan ekstensifikasi terus berjalan namun menyesuaikan dengan kondisi di lapangan. Ada wajib pajak pelaku usaha yang bisnisnya naik, ada juga yang turun. Bagi yang bangkrut, kami imbau untuk menon-efektifkan NPWP agar tidak terkena sanksi tidak lapor SPT. Kami berupaya meringankan beban wajib pajak dengan melakukan sosialisasi pemanfaatan insentif pajak dan ada pula pengurangan sanksi. Bagi mereka yang memanfaatkan insentif diharapkan untuk melaporkan SPT.
6.Bagaimana menurut Anda dengan kebijakan pemerintah yang menambah basis perpajakan dengan perluasan PPN terhadap produk digital (PMSE) dan juga kenaikan PPN menjadi 11% yang akan mulai berlaku pada April 2022?
Sebagai Fiskus kami siap melaksanakan apa yang sudah diputuskan Pemerintah bersama DPR dalam kenaikan PPN menjadi 11% sesuai UU HPP. Namun, penerapannya menurut kami perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi terkini karena kita masih berada di tengah pandemi yang penuh tekanan.
Sedangkan, pemajakan atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), penunjukan pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN Produk Digital ini adalah dalam rangka memperluas basis penerimaan pajak. Pemungutan PPN PMSE ini merupakan bagian dari upaya pemerintah menciptakan keadilan dengan menjaga kesetaraan dalam berusaha (level playing field) antara pelaku usaha konvensional dan digital.
7. Di masa depan, Big Data, teknologi perpajakan yang terintegrasi, dan digitalisasi perpajakan akan semakin mempermudah wajib pajak memenuhi kewajibannya membayar pajak. Bagaimana pandangan Anda?
Harapan kita bersama semua orang membayar pajak. Indonesia sejahtera menjadi negara maju. Tidak ada lagi orang yang menyembunyikan hartanya, baik di dalam dan luar negeri. Teknologi pun makin canggih. Sebutan wajib pajak akan berubah menjadi tax payer atau pembayar pajak karena memiliki kebanggaan tersendiri. Pajak akan menjadi lifestyle yang menyenangkan karena kemudahan akses dan teknologinya. (Atania Salsabila, Ridho Rizqullah Zulkarnain)