PajakOnline.com—Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperoleh basis data baru melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berakhir pada Juni 2022 lalu. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan, tambahan basis data ini selanjutnya akan digunakan untuk meningkatkan pengawasan dan menguji kepatuhan Wajib Pajak, sehubungan sistem pajak di Indonesia menganut self-assessment.
“Dengan sistem self-assessment yang kita adopsi di Indonesia, kita memercayai apa yang disampaikan oleh Wajib Pajak sampai kita mendapatkan data lain dari pihak ketiga. Untuk menyandingkan datanya apakah benar yang disampaikan, ini tentu saja akan terus kami tingkatkan. Dengan demikian, data-data yang mereka sampaikan itu bisa kita uji, apakah memang benar sama atau enggak,” kata pria yang akrab disapa Frans ini dalam acara Podcast, belum lama ini.
Frans mengatakan, pemerintah saat ini juga terus berupaya meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak melalui penerapan penggunaan sebagian Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), bekerja sama dengan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). NIK sebagai NPWP yang mulai berlaku sejak 14 Juli lalu ini masih diterapkan secara terbatas dan akan berlaku penuh pada Januari 2024.
“Tapi tidak hanya NIK saja, mungkin (Ditjen) Dukcapil punya data-data yang lain, kami bisa juga meningkatkan kerja sama ke arah yang lain,” katanya.
Menurut Frans, DJP akan lebih mudah mengawasi apabila transaksi Wajib Pajak telah tercatat dan sesuai dengan NIK yang didaftarkan. Selain itu, aktivitas underground economy yang selama ini sulit terlacak dan terdeteksi bisa ditanggulangi dan perlahan bisa berkurang.
“Sekarang, kan, masih banyak underground economy, semua orang jual beli enggak tercatat, pihak bank enggak mencatat atau transaksi yang sifatnya di luar negeri yang dilakukan secara online. Itu semua mengaburkan transaksi sehingga ketika dilakukan pengawasan atau pemeriksaan, itu tidak terdeteksi. Dengan adanya semua pelayanan dari pemerintah atau lembaga kepada para masyarakat menggunakan NIK, itu sangat membantu,” katanya.
Selain itu, DJP akan mematangkan kerja sama dengan para pelaku usaha di sektor e-commerce. Jika jadi dilaksanakan, DJP akan menunjuk beberapa lokapasar daring atau marketplace untuk menjadi pemotong pajak.
“Itu nanti akan diuji coba dulu, ada beberapa marketplace pemerintah contohnya Bela Pengadaan atau Beli Langsung Pengadaan. Jadi, kalau bendahara pemerintah belanja di marketplace tertentu yang sudah disediakan, nah itu nanti marketplace-nya akan memotong pajaknya secara langsung,” kata Frans.
Selain bekerja sama dengan pihak eksternal, DJP akan menjalankan core tax administration system atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) sebagai alat utama untuk penegakan dan pengawasan kepatuhan Wajib Pajak pada 2023 mendatang. Sebab, personel DJP yang tercatat sebanyak 46 ribu fiskus belum mampu mengawasi kepatuhan semua Wajib Pajak yang berjumlah puluhan juta.
“Diharapkan pengawasannya akan lebih mudah, jadi kalau dulu kami mengawasi lebih banyak ada sisi manualnya atau administrasi nanti semua akan dibantu oleh automasi dari sistem IT. Sehingga waktu yang dibutuhkan akan lebih singkat, dan kami bisa mengawasi WP lebih banyak lagi,” katanya.
Bukan itu saja, berkat sistem PSIAP, Wajib Pajak juga diklaim bakal tambah mudah untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Frans mengatakan tingkat kepatuhan Wajib Pajak seirama dengan kemudahan mereka dalam membayar pajak.
Dengan pengawasan yang mumpuni, kepatuhan wajib pajak dapat meningkat dan penerimaan pajak bisa semakin bertambah, sehingga dapat mengurangi pembiayaan utang.
“Satu bukti nyata, ini kejadian pada saat di akhir tahun kemarin 2021 pada saat penerimaan kita sudah sangat meningkat dan bisa mencapai target di dua tiga bulan terakhir. Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Risiko tidak mengeluarkan surat utang baru. Itu bukti nyata, bahwa kalau masyarakat patuh pajak itu ternyata bisa mengurangi utang,” pungkasnya.