PajakOnline | Pemerintah mengumumkan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen terhitung mulai 1 Januari 2025 mendatang. Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pengumuman kenaikan PPN menjadi 12% disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, juga dihadiri beberapa menteri Kabinet Merah Putih lainnya dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024).
Untuk kita ketahui bersama bahwa sistem perpajakan di Indonesia, termasuk PPN menganut single tarif terhadap barang dan jasa kena pajak.
“Kita enggak menganut multi tarif, Indonesia undang-undangnya, tarif PPN nya, tidak multi tarif,” terang Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu, Kamis (19/12/2024).
Saat mengumumkan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tersebut, Pemerintah masih menetapkan barang-barang yang sama, yang dikecualikan dari pengenaan PPN, yakni bahan pangan untuk sembako, jasa pendidikan dan kesehatan, hingga transportasi.
Selain itu, hanya tiga komoditas seperti minyak goreng curah bermerek Minyakita, tepung terigu, dan gula industri yang akan diberikan tarif PPN DTP artinya Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1%, sehingga tarifnya masih akan tetap 11% sepanjang 2025.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menegaskan, kebijakan PPN yang dianut pemerintah berlaku umum, artinya setiap barang dan jasa yang menjadi objek pajak akan terkena PPN 12%, Kecuali, barang dan jasa itu dikecualikan atau dilakukan DTP oleh pemerintah.
Sementara itu, Ketua Tax Payer Community Abdul Koni mengingatkan, Pemerintah agar menunda kenaikan PPN 12% hingga daya beli masyarakat benar-benar pulih. “Saat ini, daya beli masyarakat merosot. Ramai PHK, cari kerja susah. Ini menjadi warning bagi pemerintah,” kata Koni kepada PajakOnline, Kamis (19/12/2024).
Koni mengatakan, kebijakan pemerintah harus fokus kepada masyarakat. Tax Payer Community, kata Koni, mengapresiasi Pemerintah yang memberikan sejumlah insentif pajak, seperti memperpanjang masa berlaku PPh Final 0,5% bagi UMKM dan menanggung PPh Pasal 21 bagi para pekerja di sektor padat karya pada 2025.
Namun, menurut Koni, Pemerintah perlu momentum yang lebih tepat. Paling tidak sampai 2026. Agar para penerima insentif pajak dapat menikmatinya lebih dulu. Terutama untuk meningkatkan daya beli masyarakat, kemudian terjadinya stabilitas politik dan perbaikan perekonomian nasional.
“Sebab, secara beriringan pemberian insentif pajak tersebut tidak akan mampu menahan kenaikan harga barang dan jasa karena sistem pengenaan PPN di Indonesia yang single tarif (kenaikan PPN 12%). Akibatnya akan terjadi penurunan konsumsi yang massif karena daya beli masyarakat melemah yang berimbas kontra produktif pada perekonomian nasional,” pungkas Koni.
Baca Juga:
Petisi Tolak PPN 12% Telah Ditandatangani Ratusan Ribu Warga, Jumlahnya Terus Bertambah