PajakOnlineĀ | Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mendapat penolakan masyarakat. Kebijakan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 ini memicu dampak ikut naiknya barang dan jasa di tengah menurunnya daya beli masyarakat. Sebagai respons, warga masyarakat membuat petisi penolakan kenaikan PPN yang kemudian viral menyebarluas di media sosial.
Hingga saat ini, petisi tersebut telah ditandatangani lebih dari 124.202 warga yang berharap pemerintah membatalkan kebijakan ini. Seruan ini menggambarkan keresahan publik terhadap tekanan ekonomi yang semakin besar di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
“Pemerintah segera batalkan kenaikan PPN,” tulis keterangan di petisi yang viral di akun X @barengwarga, dilansir Kamis (19/12/2024).
Kenaikan PPN menjadi 12% diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak demi memperkuat pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, kenaikan PPN dinilai kurang tepat waktu, mengingat daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi. Sebelumnya, kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022 telah memengaruhi pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang turun dari 5% menjadi 4,8% pada tahun berikutnya.
Petisi menolak PPN 12% diluncurkan di platform Change.org dan telah mendapatkan lebih dari 124.202 tanda tangan. Dukungan terhadap petisi ini mencerminkan keresahan masyarakat terhadap kebijakan yang dinilai dapat memperparah kondisi ekonomi mereka.
Ajakan untuk menandatangani petisi juga menyebar luas di media sosial dengan tagar seperti #TolakPPN12 dan #PajakMencekik. Publik menyerukan agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan mendengarkan aspirasi masyarakat yang khawatir akan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Sebelumnya dalam pemberitaan media ini, Ketua Tax Payer Community Abdul Koni mengingatkan, Pemerintah agar menunda kenaikan PPN 12% hingga daya beli masyarakat benar-benar pulih. āSaat ini, daya beli masyarakat merosot. Ramai PHK, cari kerja susah. Ini menjadi warning bagi pemerintah,ā kata Koni kepada PajakOnline, Kamis (19/12/2024).
Koni mengatakan, kebijakan pemerintah harus fokus kepada masyarakat. Tax Payer Community, kata Koni, mengapresiasi Pemerintah yang memberikan sejumlah insentif pajak, seperti memperpanjang masa berlaku PPh Final 0,5% bagi UMKM dan menanggung PPh Pasal 21 bagi para pekerja di sektor padat karya pada 2025.
Namun, menurut Koni, Pemerintah perlu momentum yang lebih tepat. Paling tidak sampai 2026. Agar para penerima insentif pajak dapat menikmatinya lebih dulu. Terutama untuk meningkatkan daya beli masyarakat, kemudian terjadinya stabilitas politik dan perbaikan perekonomian nasional.
Kenaikan PPN berdampak pada daya beli masyarakat yang semakin melemah. Dengan harga barang-barang dan jasa yang ikut naik, banyak pihak khawatir konsumsi rumah tangga akan terus melambat. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan motor penggerak utama perekonomian nasional.
“Kenaikan PPN dapat berdampak besar pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang cenderung lebih sensitif terhadap perubahan harga,” kata Koni. Selain itu, kenaikan ini dapat memicu inflasi, terutama pada sektor barang kebutuhan sehari-hari.
āSebab, secara beriringan pemberian insentif pajak tersebut tidak akan mampu menahan kenaikan harga barang dan jasa karena sistem pengenaan PPN di Indonesia yang single tarif (kenaikan PPN 12%). Akibatnya akan terjadi penurunan konsumsi yang massif karena daya beli masyarakat melemah yang berimbas kontra produktif pada perekonomian nasional,ā pungkas Koni.
Baca Juga:
PPN Itu Single Tarif 12% Tahun Depan, Wadidaw! Harga Barang dan Jasa Ikut Naik