PajakOnline | Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat pertumbuhan signifikan dalam realisasi restitusi pajak sepanjang 2024. Total restitusi mencapai Rp265,67 triliun, naik 18,8 persen dibandingkan 2023.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo menjelaskan pertumbuhan tersebut terdiri dari beberapa jenis pajak utama. “Mengenai rincian jenis pajak untuk restitusi mungkin sekalian saya dapat laporkan untuk tahun 2024, restitusi PPh (Pajak Penghasilan) badan dieksekusi sebanyak Rp54,4 triliun atau tumbuh 58 persen dari tahun 2023,” kata Suryo Utomo dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi Januari 2025, dikutip Rabu (8/1/2025).
Selain itu, restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga mencatat angka yang signifikan, yakni Rp206,6 triliun, dengan pertumbuhan 12,1 persen dari tahun sebelumnya. Namun, pajak lainnya justru mengalami pertumbuhan negatif sebesar 5 persen, hanya mencapai Rp5,5 triliun.
“Total restitusi tahun 2024 ini ada di angka Rp265,67 triliun atau tumbuh 18,8 persen dari tahun kemarin,” kata Suryo Utomo.
Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), restitusi pajak adalah permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak kepada negara.
Artinya, negara membayar kembali atau mengembalikan pajak yang telah dibayar Wajib Pajak. Saat ini pemerintah memberikan fasilitas kemudahan dan percepatan restitusi pajak yang diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak (Perdirjen) Nomor PER-5/PJ/2023.
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan, Perdirjen Nomor PER-5/PJ/2023 terbit untuk lebih memberikan kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan percepatan layanan restitusi yang lebih sederhana, mudah, dan cepat. “Proses restitusi yang lebih cepat akan sangat membantu cash flow Wajib Pajak,” kata Dwi.
Selain itu, Perdirjen Nomor PER-5/PJ/2023 juga merelaksasi sanksi administratif menjadi hanya sebesar sanksi pada Pasal 13 Ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983.
“Sanksi per bulannya didasarkan pada suku bunga acuan ditambah uplift factor 15 persen untuk paling lama 24 bulan. Apabila dibandingkan, sanksi ini jauh lebih rendah daripada sanksi kenaikan 100 persen. Perlu diketahui juga bahwa relaksasi ini dilakukan melalui mekanisme pengurangan sesuai Pasal 36 Ayat (1) huruf a UU KUP,” kata Dwi.