PajakOnline.com—Ultimum remedium merupakan penggunaan hukum pidana Indonesia sebagai sebuah jalan akhir dalam penegakan hukum. Bagi wajib Pajak yang tidak melakukan kewajiban pajaknya akan diberikan keringanan sanksi, bahkan dihindari dari tindak pidana.
Namun, hal ini tidak berarti sanksi pidana dihilangkan. Sesuai Pasal 39 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) bersamaan dengan Pasal 44B dalam UU HPP. Dalam pasal tersebut menyatakan Wajib Pajak yang melunasi pokok dan sanksi dapat terhindar dari sanksi pidana.
Dengan demikian, dalam asas ultimum remedium yang dipertegas dalam UU HPP, negara tidak kehilangan potensi penerimaan pajak. Karena Wajib Pajak tetap harus mengembalikan kerugian negara sesuai dengan tingkat pelanggarannya.
Adapun implementasi asas ultimum remedium sanksi perpajakan dalam UU HPP, sebagai berikut;
- Bagi Wajib Pajak yang tidak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) tahunan akan dikenakan bunga per bulan, sesuai dengan tarif bunga di pasar sebesar suku bunga atau dikenakan denda tambahan 20% paling lama 24 bulan. Sedangkan dalam UU KUP, besaran denda atau sanksi yang dikenakan kepada Wajib Pajak yaitu 50%.
- Bagi Wajib Pajak yang memotong Pajak Penghasilan (PPh) tetapi tidak melakukan penyetoran akan dikenakan sanksi 75%. Sedangkan dalam UU KUP dikenakan besaran dendanya 100%.
- Bagi Wajib Pajak yang kurang dalam membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) akan dikenakan denda 75% dari yang sebelumnya 100% dalam UU KUP.
- Wajib Pajak yang sudah melakukan upaya hukum, namun keputusannya adalah keberatan atau pengadilan, maka akan didenda 30% dari sebelumnya 50% dalam UU KUP. Bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding akan dikenakan denda sebesar 60% dari yang sebelumnya 100% dalam UU KUP.(Kelly Pabelasary)