PajakOnline.com—DKI Jakarta dan daerah sekitarnya, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi sudah disahkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan sebagai daerah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Menyusul Sulawesi Selatan dan lain lain. Konsekuensi dari penetapan itu maka setiap daerah akan mengekuarkan regulasinya masing masing yang mengacu pada Undang- undang tentang Karantina Kesehatan.
Dalam konteks Jakarta Pergub DKI Jakarta No. 33/2020 tidak mengatur sanksi pidana sebagaimana terlihat dari Pasal 27-nya yang berbunyi:
“Pelanggaran terhadap pelaksanaan PSBB dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk sanksi pidana”.
Artinya Pergub ini mengacu pada sanksi Undang Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
Secara yuridis PSBB sebagai bagian tindakan dalam konteks UU Karantina Kesehatan secara resmi diberlakukan Jumat 10 April untuk DKI dan 15 April bagi Bodetabek. Artinya, berdasarkan asas legalitas ancaman pidananya juga baru bisa diterapkan sejak tanggal itu. Oleh karena itu bagi mereka yang “diamankan” sebelum waktu waktu itu harus dilepaskan, karena meski UU-nya sudah eksis, tetapi penetapan PSBB atau karantina wilayahnya baru ditetapkan.
Demikian juga ancaman pidana itu hanya dikenakan pada mereka yang secara tegas disebutkan melanggar putusan “karantina”, sedangkan PSBB belum karantina, apakah PSBB itu disamakan dengan karantina? Jika ya, maka ketentuan pasal pidana bisa diterapkan.
Ketentuan pidana UU No.6/2018 tentang Karantina Kesehatan Umumnya ditujukan pada pengelola angkutan, sopir kendaraan, nakhoda kapal atau pilot pesawat udara, yang tidak mendapatkan izin dari pemerintah, sedangkan untuk masyarakat umum diatur dalam Pasal 93 yang isinya berbunyi:
“Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
Sedangkan ketentuan pidana Karantina lain yang berlaku bagi angkutan diatur dalam Pasal 90: Nakhoda yang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau barang sebelum memperoleh persetujuan Karantina Kesehatan berdasarkan hasil pengawasan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000.000,(lima belas miliar rupiah).
Pasal 91: Kapten Penerbang yang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau Barang sebelum memperoleh Persetujuan Karantina Kesehatan berdasarkan hasil pengawasan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana ( paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling (banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 92:Pengemudi Kendaraan Darat yang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau Barang sebelum dilakukan pengawasan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
Undang-undang Karantina Kesehatan mengaturnya seperti demikian itu, artinya agar masyarakat bisa patuh terhadap aturan ini, karena ini masalah serius tentang keselamatan hidup kita bersama sama. Oleh karena itu selain kewajiban mematuhi, masyarakat juga punya hak atas pasokan bahan makanan dan minuman sehari harinya dari pemerintah.
Melanggar HAM?
Apakah ketentuan ini berpotensi melanggar HAM? Setiap pembatasan terhadap manusia, itu pelanggaran HAM. Tetapi “pelanggaran HAM (aturan)” ini sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan HAM yang lebih besar yaitu hak hidup dari seluruh masyarakat Indonesia yaitu hak atas keselamatan kesehatannya. Hak hidup adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Psl 28-I UUD 45) karna itu kemudian lazim disebut salus populi suprema lex esto keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara. Jadi aturan itu tidak melanggar HAM.