
Political Economy and Policy Studies (PEPS)
PajakOnline.com—Ekonomi Indonesia memasuki turbulensi sejak triwulan IV 2011. Turbulensi ini disebabkan struktur ekonomi Indonesia sangat lemah. Neraca transaksi berjalan mengalami defisit sejak triwulan IV 2011 hingga kini. Defisit transaksi berjalan ini menjadi permanen dan cenderung terus membesar. Tahun 2014 defisit transaksi berjalan mencapai 24,4 miliar dolar AS.
Dan defisit 2018 dan 2019 sudah lebih dari 30 miliar dolar AS. Besarnya defisit ini dipengaruhi harga komoditas dan minyak mentah: kinerja ekspor dipengaruhi harga komoditas seperti batubara, minyak sawit, karet. Dan kinerja impor dipengaruhi harga minyak mentah dunia.
Neraca transaksi berjalan merupakan posisi transaksi keuangan antara Indonesia dengan luar negeri. Neraca transaksi berjalan dalam keadaan defisit (minus) berarti Indonesia harus bayar ke luar negeri. Defisit dan pembayaran keluar negeri ini hanya bisa ditutupi dari (investasi asing dan) utang luar negeri. Oleh karena itu, utang luar negeri Indonesia naik pesat, dari 225,4 miliar dolar AS pada akhir 2011 naik menjadi 404,3 miliar dolar AS pada akhir 2019, atau naik 80 persen. Karena defisit transaksi berjalan cenderung semakin besar, maka ketergantungan dari utang luar negeri juga semakin besar. Penambahan utang luar negeri ini kebanyakan dari utang pemerintah dan BUMN.
Untuk menutupi defisit transaksi berjalan yang semakin membesar, Indonesia butuh penambahan utang luar negeri lebih dari 20 miliar dolar AS setiap tahunnya. Ini hanya untuk membuat kurs rupiah stabil. Masalahnya, ketika ekonomi global sedang tidak stabil, maka utang asing ke Indonesia akan terhambat. Akibatnya kurs rupiah anjlok. Karena tidak ada cukup dolar untuk membayar defisit transaksi berjalan.
Tahun 2013, Indonesia hanya mampu tarik utang luar negeri 13,7 miliar dolar AS, kurs rupiah langsung anjlok dari sekitar Rp 9.600 per dolar AS menjadi sekitar Rp12.300. Penambahan utang luar negeri 2014 sangat tinggi, mencapai 27,2 miliar dolar AS. Kurs rupiah cenderung stabil, meskipun sempat menguat pada pertengahan tahun.
Turbulensi juga terjadi di 2015 dan 2018. Rupiah tembus Rp14.700 pada September 2015, sebelum uang tebusan tax amnesty masuk. Setelah menguat ke sekitar Rp13.300, rupiah kemudian anjlok lagi, tembus Rp15.300 per dolar AS pada September 2018. Anjloknya kurs rupiah karena utang luar negeri terhambat masuk, tidak cukup menutupi jumlah dolar yang ditarik ke luar negeri.
Hal ini beda dengan Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapore, dan bahkan Philipina. Untuk periode 2011-2018, neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit 161 miliar dolar AS. Sedangkan semua negara tetangga ASEAN-6 lainnya mengalami surplus: Malaysia surplus 107 miliar dolar AS, Thailand surplus 155 miliar dolar AS, Vietnam surplus 43 miliar dolar AS, Singapore surplus 448 miliar dolar AS, dan Philipina surplus 30 miliar dolar AS.
Jadi ekonomi Indonesia memang sangat lemah, tergantung dari utang luar negeri yang jumlahnya semakin lama semakin menggunung. Artinya, ekonomi Indonesia bisa berjalan seperti sekarang ini karena masih bisa menarik utang luar negeri. Sedangkan negara tetangga kita tersebut di atas ekonominya sangat kuat. Mereka semua mampu menabung dan mendulang dolar.
Pandemi Covid-19 awal tahun ini mengakibatkan dolar mengalir keluar Indonesia dalam jumlah cukup besar. Cadangan devisa Februari dan Maret 2020 masing-masing turun 1,3 miliar dan 9,4 miliar dolar AS. Rupiah terjerembab. Beberapa bank nasional sempat jual di atas Rp17.000 per dolar AS. Rupiah pun masuk krisis. Hanya dalam satu minggu rupiah terjerembab Rp1.500. Dan dalam dua hari transaksi rupiah terdepresiasi Rp1.050.
Dan, sekali lagi, rupiah hanya bisa diselamatkan dengan masuknya utang luar negeri untuk menutupi aliran keluar dolar. Pada 7 April 2020 pemerintah telah menerbitkan surat utang sebesar 4,3 miliar dolar AS. Untuk sementara rupiah menguat ke sekitar Rp16.200.
Penerbitan surat utang negara baru masuk tahap awal. Secara keseluruhan, pemerintah tahun ini akan menambah utang sekitar Rp1.000 triliun. Hal ini dimungkinkan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No 1 Tahun 2020 terkait pandemi Covid-19 yang membuka defisit anggaran seluas-luasnya, tanpa batas. Sehingga utang pemerintah akan semakin besar, dan pada gilirannya akan membebani anggaran. Bunga pinjaman akan meningkat drastis, sedangkan penerimaan negara masih stagnan.
Semoga Covid-19 dapat menjadi momentum pembelajaran untuk memperbaiki struktur ekonomi Indonesia yang sangat lemah. Beda dengan negara tetangga kita yang mempunyai struktur ekonomi kuat, sehingga tidak terdengar kegaduhan sama sekali dalam menghadapi pandemi Covid-19.