PajakOnline.com—Komisi XI DPR, telah menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang memberikan sejumlah stimulus ekonomi kepada wajib pajak. Perpu memberikan relaksasi berupa berupa penurunan tarif dan sejumlah potongan bagi wajib pajak. Anggota DPR dari Fraksi PKS meminta lahirnya kebijakan itu jangan dijadikan aji mumpung.
“Munculnya konten stimulus pajak pada Perppu tersebut tidak diduga sebelumnya. Karena memang akan dibicarakan pada Omnibus Law perpajakan. Jika dikaitkan dengan keuangan negara, tentu dampaknya sangat berpengaruh signifikan pada keuangan negara ke depan,” ujar anggota Komisi XI DPR RI Junaidi kepada wartawan.
Dalam Perpu, Pasal 4 ayat (1) huruf a dan berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang- Undang mengenai Pajak Penghasilan. Dengan demikian tarif pajak penghasilan bagi wajib pajak tersebut adalah menjadi (a) sebesar 22 persen yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan (b) sebesar 20 persen yang mulai berlaku pada tahun Pajak 2022.
Selain itu, ada tambahan potongan bagi wajib pajak dalam negeri, yang memenuhi ketentuan: (i) berbentuk Perseroan Terbuka; (ii) dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40 persen dan (iii) memenuhi persyaratan tertentu, dapat memperoleh tarif sebesar 3 persen lebih rendah dari tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b.
Politisi Fraksi PKS tersebut menilai penurunan tarif pajak merupakan suatu keputusan yang kurang tepat, apalagi saat ini penerimaan perpajakan selalu meleset atau terus mengalami shortfall. Kondisi seperti itulah yang dinilainya menyebabkan menumpuknya hutang negara setiap tahun.
“Kalau tarifnya terus dikurangi, apakah ada jaminan kegiatan ekonomi semakin tumbuh atau setidaknya kepatuhan dunia usaha membayar pajak semakin baik?” ungkapnya.
Yang menjadi pertanyaan Junaidi berikutnya, mengenai sejauh mana penurunan tarif nantinya efektif menjadi stimulus bagi investor-investor baru. “Karena selama ini yang dihadapi investor lebih didominasi oleh inefisiensi birokrasi. Tarif pajak adalah masalah kesekian dari tumpukan masalah lainnya,” tutup Junaidi.