PajakOnline.com—Pemaksaan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera telah menimbulkan kemarahan publik. Tapera dinilai kontraproduktif dengan upaya mensejahterakan pekerja. Tapera malah menambah beban pekerja semakin berat. Penerapan sanksi Tapera juga dinilai tidak sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi nasional.
“Yang namanya menabung tidak boleh dipaksa. Menabung itu urusan pribadi, harus sukarela. Tapera membuat daya beli masyarakat pekerja semakin menurun. Dampaknya negatif bagi akselerasi pemulihan ekonomi nasional di tengah inflasi, meroketnya harga kebutuhan pokok,” kata Ketua Tax Payer Community Abdul Koni.
Selain itu, pemaksaan Tapera menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah. Pemaksaan Tapera dengan sanksi juga kontraproduktif dalam upaya perjuangan bersama membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan menyerap pengangguran.
Menurut Koni, pemerintah dapat mengoptimalisasi belanja uang pajak melalui APBN untuk membantu warga masyarakat berpenghasilan rendah memiliki rumah.
Sementara itu, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono merasa menyesal dengan aturan Tapera yang baru diterbitkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang tergesa-gesa diluncurkan apabila implementasinya masih belum siap.
Basuki membandingkan pula Rp105 triliun dari APBN telah dikucurkan untuk fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk subsidi selisih bunga. Sedangkan untuk Tapera baru bisa terkumpul Rp50 triliun dalam jangka waktu 10 tahun.
“Jadi effortnya, dengan kemarahan ini saya pikir saya nyesel betul, saya nggak nglegewo (menyangka),” kata Basuki kepada wartawan di Gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin.
Menurut Basuki, wajar saja banyak pihak yang mendorong agar Tapera ini ditunda. Dia mengaku sejalan dengan usulan tersebut. Basuki akan menyampaikan hal ini juga kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, Tapera tidak akan efektif karena sanksinya sulit diterapkan dan programnya sendiri tumpang tindih dengan program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan BPJS Ketenagakerjaan.
Timboel menilai, sanksi Tapera berupa pencabutan izin usaha bagi perusahaan yang tidak menjalankan iuran tidak sejalan dengan semangat pemulihan ekonomi nasional yakni membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat.
Dalam PP tersebut Pasal 55, pekerja mandiri atau pekerja informal yang sudah menjadi peserta Tapera namun tidak membayar iurannya akan dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis hingga denda.
Sedangkan bagi para pemberi kerja akan dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, memublikasikan ketidakpatuhan pemberi kerja, pembekuan izin usaha, dan/atau pencabutan izin usaha.
“Karena pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih sangat bersemangat untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat kita. Artinya pengusaha yang sudah membuka lapangan kerja akan dicabut izinnya, ya akan terjadi pengangguran. Ini kan persoalan yang kontradiktif dan semangatnya tidak untuk kesejahteraan rakyat,” kata Timboel, Kamis (6/6/2024).
Timboel menyarankan agar Tapera tidak perlu diwajibkan, hanya bersifat sukarela. Sebab, program tersebut tumpang tindih dengan program MLT Perumahan yang bisa diakses oleh para pekerja secara mandiri sesuai dengan kebutuhannya.
“Tapera itu harus direvisi pasal 7-nya, tidak usah diwajibkan, sukarela saja, karena pihak pekerja swasta sudah punya saluran di MLT Perumahan, yang per akhir tahun 2023 sudah ada 4.4313 pekerja yang mendapatkan akses perumahan dari MLT Perumahan dengan nilai Rp1,19 triliun yang bisa dibilang rata-rata sekitar Rp200 jutaan. Kalau ini dijalankan tidak dapat manfaat, hasilnya tidak jelas, artinya pekerja dan pengusaha akan rugi,” katanya.
Baca Juga:
Peraturan Pemaksaan Tapera Kepada Pekerja Melanggar Konstitusi: Wajib Batal