PajakOnline.com— Pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan menangkal wabah Corona atau Covid-19 yang sudah menyebar ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kebijakan itu berupa Insentif fiskal pembebasan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, lalu penundaan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 25. Semua insentif itu masuk dalam paket kebijakan fiskal jilid II.
Selain itu, Kementerian Keuangan akan mempercepat pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau restitusi untuk jenis pajak pertambahan nilai (PPN) bagi eksportir. Caranya, membayarkan kelebihan pajak tanpa proses audit. Kebijakan ini untuk meredam efek virus corona terhadap ekonomi domestik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan proses percepatan restitusi PPN diberikan kepada 19 sektor usaha. Sektor yang dimaksud, antara lain bahan kimia, peralatan listrik, farmasi, logam dasar, kertas, makanan, komputer, tekstil, minuman, bahan jadi, dan kulit.
Pemerintah juga telah merilis paket kebijakan fiskal jilid I dengan nilai sebesar Rp10,3 triliun. Beberapa insentif yang diberikan, antara lain penambahan tunjangan Kartu Sembako dari Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu per bulan.
Lalu, diskon tiket pesawat sebesar 30 persen ke 10 destinasi yang telah ditentukan, dan menyediakan dana khusus untuk menarik wisatawan mancanegara sebesar Rp298 miliar.
Stimulus fiskal yang dikeluarkan pemerintah d imata ekonom INDEF, Bhima Yudhistira belum bisa memberikan dorongan yang efektif. Alasannya, pemerintah hanya fokus pada perusahaan perusahaan besar. Sementara, perusahaan besar yang sudah diberi insentif pajak belum tentu akan berimbas pada insentif ke karyawan.

“Berbagai studi menjelaskan bahwa insentif pajak cenderung dinikmati posisi atas, pemilik perusahaan dan belum tentu menjamin perusahaan tidak lakukan PHK,” ujar Bhima kepada PajakOnline.com.
Bhima menegaskan, insentif pajak yang diberikan pemerintah akan sulit meningkatkan daya beli masyarakat dalam situasi mendesak akibat wabah Corona. Penyebabnya, proses insentif pajak membutuhkan waktu yang cukup lama. Lama, karena DPR menyarankan pemerintah membuat Perppu, disisi lain kondisi saat ini membutuhkan perubahan anggaran yang cepat dengan payung hukum yang mendesak.
“Artinya ada jeda sampai insentif benar-benar dirasakan ke pekerja atau masyarakat,” tegasnya.
Bhima juga mengkritisi kebijakan fiskal yang hanya berpihak kepada perusahaan besar. Seharunya, pemerintah juga memperhatikan pelaku usaha mikro, menengah dan koperasi. Dia bahkan meminta, UMKM dan koperasi diberikan insentif maksimal.
“ Harusnya PPh UMKM itu di 0% kan, tapi sayangnya tidak masuk dalam stimulus”.
Terkait dengan PPh 21 yang hanya diberikan ke sektor industri manufaktur selama 6 bulan, dinilai Bhima juga kurang tepat. Padahal, tidak hanya industri yang terkena dampak buruk wabah Corona tapi juga sektor lain seperti pariwisata, perdagangan, logistik, hingga pertanian.
Bhima mempertanyakan kebijakan terebut. Kenapa yang diberikan hanya ke pekerja industri. Sebaiknya pemerintah merevisi lagi bonus PPh 21, diberlakukan pada semua sektor terdampak, meskipun hanya berlaku 3 bulan.
“Itu jauh lebih efektif. Kalau mau kasih insentif pajak jangan nanggung,” tegasnya.
#PajakOnline #BanggaBayarPajak #IndonesiaMaju