PajakOnline.com—Kalangan ekonom senior menilai insentif pajak yang diberikan pemeritah kepada perusahaan atau badan tidak efektif saat ini.
Ekonom Senior Chatib Basri mengemukakan alasan karena perusahaan yang merugi di masa pandemi ini tentu bebas pungutan karena tidak memiliki penghasilan.
“Jadi tax incentive (insentif pajak) baru efektif ketika ekonomi saat normal. Kalau mau beri insentif, saat yang tepat adalah tahun depan,” kata Chatib dalam acara Konferensi Nasional Perpajakan secara virtual di Jakarta pada Kamis (3/12/2020).
Mantan menteri keuangan (menkeu) ini mengungkapkan, itu sebabnya kebijakan insentif pajak tersebut tidak banyak dimanfaatkan pengusaha.
Oleh karena itu, kebijakan yang tepat adalah dengan gencar memberikan bantuan langsung tunai atau (BLT) kepada masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian yang diterima, pendapatan para pekerja kantoran saat ini sekitar 99,7 persen dari keadaan normal. Lalu pengusaha penghasilannya menjadi 85,6 persen. Sedangkan pekerja informal 70,9 persen.
“Maka kelompok ini (informal) yang perlu dibantu. Itu sebabnya saat awal Covid-19 saya katakan kasih BLT. Itu paling superior untuk berikan bantuan sosial,” kata Chatib.
Sementara itu, dalam pemberitaan media ini sebelumnya, pengamat politik ekonomi dan kebijakan publik, Anthony Budiawan mengatakan, di tengah pandemi dan resesi seperti ini yang paling tepat diberikan pemerintah adalah bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat.
“Yang terpenting, Pemerintah memberi bantuan keuangan kepada masyarakat untuk meringankan kesulitan mereka, sekaligus menjaga daya beli masyarakat,” kata Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
“Resesi terjadi karena daya beli menyusut,” kata mantan Rektor Kwik Kian Gie School of Business ini. Stimulus berupa bantuan langsung tunai (BLT) untuk warga masyarakat harus ditambah dan dipercepat pencairannya.
Daya beli masyarakat sangat turun akibat dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan yang dirumahkan, serta banyaknya UMKM yang terpaksa harus menutup usahanya. Hal ini dibuktikan pula dengan pusat-pusat perbelanjaan masih relatif sepi pengunjung apalagi pembeli, dan masih banyak hotel-hotel di Jakarta bintang 4 dan 5 masih tutup.