PajakOnline.com—Soal kepatuhan masih menjadi problematik dalam urusan kewajiban membayar pajak. Sebab, penerimaan pajak di negara kita terbilang masih rendah, bahkan pajak masih dianggap sebagian besar masyarakat sebagai beban.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan adalah dengan melakukan sosialisasi kepada wajib pajak. Hal ini penting dilakukan untuk membangun komunikasi yang efektif. Hal tersebut disampaikan Pengamat Komunikasi dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta Drs. Syafril Tahar, M.Si.
“Komunikasi efektif, perlu adanya strategi yang jitu ketika ingin mensosialisasikan tentang pentingnya pajak kepada masyarakat. Untuk mensosialisasikannya perlu dikategorikan dulu target sasarannya untuk siapa, dan segmentasinya khalayaknya seperti apa. Misal, sosialisasi kepada pengusaha dengan masyarakat yang berpenghasilan rendah, ya jelas harus dilakukan cara sosialisasi yang berbeda,” terang Syafril Tahar saat ditemui PajakOnline.com di Kampus Tercinta IISIP Jakarta.
Syafril menjelaskan, sebenarnya sudah banyak sarana dan media untuk mensosialisasikan pajak. Hanya saja, belum disegmentasikan berdasarkan karakteristiknya. Dengan melihat karakteristik target dan demografi yang berbeda, nantinya dapat menentukan pendekatan seperti apa yang harusnya dilakukan.
“Seperti pejabat atau pengusaha itu pendekatannya tidak bisa lewat medsos dan lain sebagainya. Mereka hanya perlu didatangi langsung secara personal akan kewajiban pajaknya. Sementara untuk masyarakat menengah bawah perlu diedukasi terlebih dahulu tekait informasi-informasi seputar perpajakan agar mereka melek bahwa pajak itu penting dan berguna untuk bantuan sosial serta pembangunan negara ini,” kata Syafril Tahar, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) IISIP Jakarta ini.
Syafril menilai, program pemutihan pajak sebenarnya dapat menjadi salah satu cara agar masyarakat mau membayarkan pajak terutangnya. Namun, saran dia, pemerintah bisa menggunakan “istilah” lain, sebab jika menerapkan program pemutihan, ini hanya menyasar kepada wajib pajak yang “aware” saja dan hanya membayar pajaknya di momentum tertentu saja.
Syafril juga mendorong pejabat pajak serta pemangku kebijakan harus bisa menjadi contoh dan teladan yang baik kepada masyarakat, agar mereka dapat percaya dan yakin untuk membayarkan kewajiban pajaknya. Artinya uang pajak tersebut tidak dipergunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.
“Orang-orang yang berkecimpung di pajak harus jujur dan amanah. Sebab, seringkali yang menyimpang dan melakukan penyelewengan pajak adalah orang pajak sendiri. Harusnya mereka dapat memberi contoh dan memperbaiki citranya supaya rakyat percaya. Serta pemangku kebijakan harusnya lebih transaparan lagi terkait sistem dan kebijakan perpajakan kepada masyarakat,” kata Syafril.
Menurut Syafril, dalam kegiatan sehari-hari sebenarnya kita sudah terbiasa dikenakan pajak, seperti belanja di mini market, makan di restoran, minum kopi di cafe atau sederhananya lagi belanja melalui platform aplikasi online. Namun, hal tersebut banyak yang kurang sadar. Maka sosialisasi kesadaran membayar pajak ini harus terus ditingkatkan. Sebab, penerimaan uang pajak ini dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dalam pemerataan pembangunan Indonesia. (Azzahra Choirrun Nissa)