PajakOnline.com—Minggu kedua Februari 2020, Sekretariat Jenderal DPR sudah menerima Surat Presiden (Surpres) serta draf Omnibus Law RUU Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Sekjen DPR Indra Iskandar mengatakan, draf tersebut, sebelum diserakan ke pimpinan DPR, akan dikaji terlebih dahulu oleh tim Kesetjenan.
Ketua DPR, Puan Maharani menyebut pembahasan Omnibus Law Perpajakan kemungkinan besar akan dibahas di Komisi XI. Salah satu alat kelengkapan dewan yang bertugas membahas masalah perpajakan, keuangan dan perbankan.
Bagaimana kalangan ekonom melihat pasal-pasal yang ada di draf Omnibus Law Perpajakan? Berikut penjelasan pakar ekonomi Indef, Bhima Yudhistira kepada Zulkarmedi Siregar dari PajakOnline.com:
Dalam draf Omnibus Law, pasal 3 disebutkan, penurunan tarif PPh badan bertahap menjadi 22% di 2021 dan 20% di tahun 2023, serta pemberian tambahan untuk perusahaan publik sebesar tarif 17%. Apakah kebijakan itu efektif?
Insentif pajak belum tentu efektif dalam mendorong investasi dan kesempatan kerja. Merujuk sebelumnya dalam 16 paket kebijakan, Pemerintah telah bermurah hati memberikan aneka fasilitas perpajakan seperti tax allowances dan tax holiday bagi wajib pajak badan. Hasilnya pada tahun 2018, terdapat Rp221 T belanja pajak. Namun, efek ke pertumbuhan industri manufaktur justru alami penurunan pertumbuhan. Tercatat pertumbuhan sektor manufaktur di 2018 hanya mencapai 4,27%, dan tahun 2019 kembali mencatat penurunan ke level 3,8%.
Artinya, insentif pajak itu tidak akan menjamin investasi akan masuk besar-besaran ke Indonesia?
Investasi yang diharapkan masuk melalui insentif perpajakan terbukti gagal. Pertumbuhan investasi anjlok dari 6,67% di 2018 menjadi 4,45% di 2019. Artinya, semakin besar insentif pajak yang diberikan, tidak berkorelasi terhadap pertumbuhan kinerja investasi dan industri.
Investasi diharapkan bisa membuka lapangan kerja bukan?
Dari sisi serapan tenaga kerja, setiap 1% pertumbuhan ekonomi yang sudah di-support oleh insentif pajak hanya mampu menyerap 500 ribu tenaga kerja baru di 2019 (BPS, per Agustus 2019). Angka ini turun tajam dibandingkan di 2018 di mana angka serapan kerja baru mencapai 578 ribu per 1% pertumbuhan ekonomi. Penurunan tajam serapan tenaga kerja menunjukkan resep yang keliru mendatangkan investasi dengan penurunan tarif PPh badan.
Menurut kajian Anda, apa penyebab pemerintah belum maksimal mengumpulkan pajak?
Permasalahan pajak yang utama sejatinya tidak terletak pada tarif pajak, melainkan prosedur pembayaran pajak. Berdasarkan Ease of Doing Business 2020, peringkat membayar pajak Indonesia berada di 81 dunia. Sementara dibutuhkan 191 jam dalam setahun bagi pelaku usaha untuk membayar dan melaporkan pajak. Bandingkan misalnya dengan Rwanda, di posisi 38 dan hanya membutuhkan 91 jam dalam setahun untuk mengurus administrasi perpajakan.
Apa efeknya akibat lamanya prosedur melaporkan pajak itu?
Efek ke penerimaan pajak juga membahayakan. Terlalu besar penurunan tarif PPh badan dapat mengancam rasio pajak. Pada tahun 2019, rasio pajak turun menjadi 9,8% salah satunya akibat terlalu banyak obral insentif pajak. Jika diberlakukan tarif PPh badan hingga 17%, kehilangan potensi pajak per tahun dapat menembus Rp80 Triliun. Di saat yang bersamaa, turunnya rasio pajak membuat ruang fiskal menyempit, dan defisit APBN melebar. Beban utang makin mencekik.
Dalam draf Omnibus Law Perpajakan ada juga membahas pajak transaksi online. Bagaimana Anda menilai hal itu?
Pasal 14 mengatur tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk transaksi e-commerce di dalam negeri (PMSE). Meskipun untuk mendorong keadilan pajak bagi pelaku usaha konvensional dan digital (level of playing field), namun teknis pemungutan perlu mempertimbangkan beberapa hal.
Apa saja itu?
Sebagian besar pelaku usaha retailer yang berjualan menggunakan platform e-commerce adalah pedagang UMKM dengan omset dibawah Rp.4,8 miliar setahun. Pengenaan PPN 10% akan mengurangi pendapatan pelaku usaha UMKM. Di tengah situasi krisis ekonomi, justru UMKM adalah tulang punggung perekonomian dan serapan tenaga kerja. Sehingga kondisi pemaksaan PPN 10% ini cukup merugikan bagi pelaku UMKM, untuk saat ini.
Pertimbangan lainnya?
Upaya pemerintah menggejot penerimaan pajak e-commerce melalui platform, berisiko mengalihkan transaksi penjualan ke sosial media. Pengalihan ini akan merugikan pemerintah (potential loss pajak), transaksi sulit dilacak (illegal trading) dan turunnya penjualan melalui platform e-commerce.
Data BI menunjukkan per Januari 2020, total nilai penjualan 4 marketplace terbesar Indonesia adalah sebesar Rp 19,15 triliun. Sementara total nilai penjualan gabungan dari 14 marketplace menyentuh angka Rp 23,27 triliun. Bila dibandingkan dengan bulan Desember 2019, angka penjualan tersebut mengalami penurunan.
Penjualan 4 marketplace terbesar pada akhir tahun 2019 lalu mencapai Rp 19,99 triliun dan 14 marketplace besar sebesar Rp 25,35 triliun. Sebelum adanya penerapan Omnibus Law Perpajakan, jumlah transaksi sudah ciut duluan. Padahal porsi e-commerce baru mencapai <5%, pasar e-commerce di Indonesia sudah loyo sebelum mature.
#PajakOnline #BanggaBayarPajak #IndonesiaMaju