PajakOnline.com—Adanya rencana Pemerintah menerapkan kelas standar di ruang perawatan Rumah Sakit (RS), sesuai pasal 54A Perpres Nomor 64 Tahun 2020, tentunya akan berdampak pada dua hal yaitu mengkaji ulang iuran peserta dan nilai INA CBGS.

DJSN yang diberi tugas untuk mengkaji penerapan klas standard ini sudah menginformasikan bahwa akan ada dua kelas standar yaitu kelas PBI dan Kelas Non PBI.
Dengan adanya dua kelas standard ini maka akan ada dua jenis iuran dan dua jenis INA CBGS di satu RS, yang tergantung tipe RS nya.
Terkait iuran, tentunya sebagai konsekuensi adanya kelas standar maka akan ada iuran baru.
DJSN akan menghitung ulang iuran JKN untuk kedua kelas tersebut, khususnya kelas non PBI yaitu dari iuran PPU (pekerja penerima upah) yang iurannya berdasarkan persentase tertentu dari upah dan iuran dari PBPU dan BP yang iurannya sebesar nominal tertentu.
Kalau iuran untuk PBI tentunya akan relatif lebih mudah karena hanya satu kelompok saja yang iurannya dibayar full pemerintah. Kemungkinan Pemerintah tetap memberlakukan iuran sebesar Rp42.000 per orang per bulan.
Sementara kelas non PBI harus dihitung lebih cermat karena melingkupi PPU dan PBPU dan BP. Harus dihitung berapa persen dari upah untuk PPU dan berapa nilai nominalnya untuk PBPU dan BP.
Untuk PPU Pemerintah dan Badan Usaha/BUMN, iurannya nanti hanya satu. Tidak ada lagi pembagian kelas 2 dan kelas 1, yaitu berdasarkan upah yang diterima. Untuk PPU Badan Usaha/BUMN, ketentuan upah Rp4 juta dan di bawah Rp4 juta akan mendapat kelas 2, sementara di atas Rp4 juta dapat kelas 1, tidak akan berlaku lagi karena semua PPU Badan Usaha/BUMN akan dapat klas non PBI. Demikian juga PPU Pemerintah, tidak akan ada lagi pembagian kelas perawatan berdasarkan golongannya, semuanya akan dapat kelas non PBI.
Demikian juga dengan PBPU dan BP (keduanya biasa disebut peserta mandiri), tentunya tidak ada lagi iuran kelas 1 (Rp150 ribu), kelas 2 (Rp100 ribu) dan kelas 3 (Rp42.000 dengan subsidi).
Semuanya akan satu nilai iuran.
DJSN akan menghitung ulang iuran berdasarkan hitungan aktuaria sehingga iuran nantinya akan bisa memastikan keberlangsungan program, yaitu tidak lagi menyebabkan defisit.
Untuk PPU (Pemerintah dan Badan Usaha/BUMN) yang iurannya secara persentase, relatif lebih mudah, dan bisa saja tetap diberlakukan 5 persen dari upah. Saya berharap iuran 5 persen tetap diberlakukan, jadi tidak ada perubahan persentasenya lagi, yang dihitung berdasarkan besaran upah (gaji pokok tambah tunjangan tetap), dengan batas maksimal upah Rp12 juta.
Untuk PBPU dan BP relatif sulit karena iuran kelas 3, 2 dan 1 akan dicampur dan dihitung ulang sehingga nilai iurannya akan lebih rendah dari kelas 1 dan 2, tetapi akan lebih tinggi dari kelas 3. Ini artinya iuran kelas 3 peserta mandiri akan naik lagi, walaupun kelas 1 dan 2 akan turun.
Menurut saya, dalam proses penghitungan iuran, khususnya untuk peserta mandiri harus bisa melihat kondisi daya beli peserta kelas 3 mandiri yang kemungkinan iurannya akan naik. Saya berharap Pemerintah menerapkan iuran Rp42.000 untuk seluruh peserta mandiri dengan adanya kelas standar ini.
Bila harus ada kenaikan iuran untuk peserta mandiri kelas 3 akibat adanya kelas standar ini maka paling tidak ada dua mitigasi yang bisa dilakukan oleh pemerintah yaitu :
a.Peserta klas 3 mandiri saat ini yang memang tidak mampu dimasukkan ke PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang iurannya dibayar pemerintah, dan nanti masuk kelas standar PBI.
b.Pemerintah tetap memberikan subsidi iuran kepada peserta kelas 3 yang ada saat ini sehingga mereka tetap bisa menjadi peserta aktif, walaupun ada kenaikan iuran lagi sebagai konsekuensi penerapan kelas standar.