PajakOnline.com—Indonesia terlihat sangat bernafsu mendirikan Sovereign Wealth Fund (SWF). Sulit dimengerti apa yang menjadi dasar nafsu dan keinginan yang menggebu-gebu tersebut. Karena, pada dasarnya Indonesia tidak memiliki persyaratan mendirikan SWF seperti yang dimaksud dalam pengertian umum internasional tentang SWF.

SWF adalah kekayaan, atau akumulasi kelebihan cash, biasanya dalam mata uang asing, yang dimiliki sebuah negara atau teritori. Biasanya akumulasi kelebihan cash tersebut berasal dari surplus fiskal (APBN) atau neraca transaksi berjalan.
Oleh karena itu, SWF umumnya tidak mempunyai utang. Misalnya, Norwegia Oil Fund. SWF yang juga dinamakan Government Pension Fund Global merupakan SWF terbesar dunia dengan kekayaan sekitar 1,2 triliun dolar AS.
Kekayaan ini berasal dari surplus ekspor minyak dan gas bumi, makanya dinamakan Oil Fund. Dana tersebut dikelola oleh Norges Bank Investment Management (NBIM).
Ciri lainnya, strategi investasi (hampir semua) SWF umumnya berorientasi ke luar negeri. NBIM menginvestasikan dana Oil Fund di berbagai surat berharga (saham dan obligasi) perusahaan global maupun SBN (Surat Berharga Negara) di pasar internasional. Antara lain saham Microsoft, Apple, Amazon. NBIM tidak menginvestasikan Oil Fund di dalam negeri untuk menghindari agar ekonomi di dalam negeri tidak menjadi kepanasan (over-heated) yang bisa memicu inflasi, dan crash. Juga menghindari agar mata uang domestik tidak menguat.
Sedangkan kondisi keuangan Indonesia serba mengalami defisit, baik sektor fiskal (APBN) maupun neraca transaksi berjalan. Artinya tidak ada akumulasi kekayaan. Yang ada malah utang membengkak. Sehingga secara teknis tidak layak membentuk SWF: Sovereign Wealth Fund.
Indonesia tidak putus asa. Melalui UU sapu jagat Cipta Kerja, pemerintah membentuk Lembaga Pengelola Investasi, atau LPI. Atau, Indonesia Investment Authority. Dari namanya sudah jelas, Lembaga yang dibentuk ini adalah Pengelola Investasi.
Sama seperti NBIM (Norges Bank Investment Management) pada contoh di atas: hanya pengelola investasi.
Bedanya, NBIM dapat dana dari surplus Oil Fund yang mempunyai kekayaan berlimpah dan akumulasi cash. Sedangkan LPI dapat dana dari pemerintah, dari defisit APBN: artinya dari utang. Oleh karena itu, LPI tidak layak disebut SWF.
LPI pada dasarnya adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) seperti Perusahaan Umum (Perum). Karena kekayaan LPI berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, seperti layaknya BUMN. LPI dan Perum sama-sama mempunyai Dewan Pengawas.
Bedanya, Perum bertanggung jawab kepada Menteri, dan Dewan Pengawas Perum ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan LPI bertanggung jawab kepada Presiden, dan Dewan Pengawas LPI terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua, Menteri BUMN sebagai anggota, di tambah 3 anggota lagi dari profesional.
Dikhawatirkan, LPI sangat berpotensi besar menjadi lembaga super karena dikelola tanpa pengawasan (memadai) dari perwakilan rakyat (DPR). Alasannya, LPI tidak tunduk pada UU tentang BUMN dan UU tentang keuangan negara, tetapi mengikuti UU Cipta Kerja.
Pasal 164 ayat (2) berbunyi “Sepanjang diatur dalam Undang-Undang ini, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan negara, kekayaan negara, dan/atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi Lembaga.”
Selain itu, keperluan (perubahan) penyertaan modal untuk LPI hanya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Artinya, tidak perlu sepengetahuan dan persetujuan DPR.
Sedangkan menurut UU BUMN, setiap keperluan penyertaan modal BUMN harus terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN. Artinya, melalui pengawasan dan persetujuan DPR.
Kedua, pemerintah dapat menentukan langsung calon mitra investasi, tanpa melalui tender. Pasal 154 ayat (4) mengatakan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan Lembaga (dalam hal ini sekaligus juga sebagai Ketua Dewan Pengawas LPI: ditambahkan) berwenang untuk menentukan calon mitra investasi.
Sepertinya, kunjungan Menteri Luhut B. Panjaitan bersama Menteri Erick Thohir ke Jepang belum lama berselang dalam rangka mencari dan menentukan mitra investasi (penunjukan langsung).
Permasalahan akan timbul kalau LPI mendapatkan proyek dari pemerintah melalui penunjukan langsung. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat LPI langsung di bawah Presiden dan Dewan Pengawas LPI terdiri dari dua menteri.
Dalam hal ini, sulit mengharapkan good governance dapat berjalan profesional, sehingga berpotensi menyalahi UU (pengadaan barang), serta merugikan negara dan rakyat.
LPI berpotensi menjadi lembaga super power di bawah presiden tanpa dapat diawasi DPR, seperti Bulog di era Orde Baru. Karena LPI tidak tunduk pada UU pengelolaan keuangan negara, kekayaan negara, maupun UU tentang BUMN. Padahal LPI pada dasarnya adalah BUMN. Sehingga lebih baik dikembalikan menjadi BUMN.
Yang jelas, LPI tidak setara dengan SWF menurut pengertian umum. Yaitu, SWF memiliki akumulasi kekayaan, dalam bentuk (kelebihan) tunai, biasanya dalam mata uang asing.
Oleh karena itu, SWF umumnya tidak mencari mitra investasi, tetapi mencari instrumen investasi, saham atau obligasi, di pasar internasional. Agar ekses dollar tersebut terserap keluar lagi. Agar mata uang domestik tidak menguat. Tetapi, di Indonesia mata uang rupiah malah di-doping terus untuk menguat. Ironi. Kebijakan Terbalik!