PajakOnline.com— Perlambatan ekonomi global akibat dampak buruk pandemi corona atau Covid-19 di seluruh dunia, termasuk Indonesia membuat pemerintah harus melakukan langkah-langkah strategis dalam upaya penyelamatan sekaligus pemulihan perekonomian nasional.
Pandemi corona telah memicu terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran, bertambahnya jutaan pengangguran baru, dan meningkatnya angka kemiskinan.
Data terbaru dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), ada 6 juta orang yang bekerja di sektor formal terkena PHK. Ada masyarakat yang harus bekerja di rumah atau work from home (WFH), tapi perusahaannya masih mampu menggaji. Namun, ada pula yang sudah tidak mampu menggaji, ada yang memotong gaji, dan ada pula yang terpaksa melakukan PHK.
PHK besar-besaran inilah yang membuat Pemerintah memutuskan untuk melonggarkan aturan pembatasan sosial yang dilakukan. Warga berusia 45 tahun ke bawah diizinkan bekerja, di tengah aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang masih berjalan di sejumlah daerah di Indonesia.
Rentang usia tersebut dinilai minim risiko kematian jika terpapar virus corona. Kelompok muda disebut punya fisik sehat, punya mobilitas tinggi, dan belum tentu sakit saat terpapar.
“Kelompok ini kita beri ruang untuk beraktivitas lebih banyak lagi sehingga potensi terpapar PHK bisa kita kurangi lagi,” kata Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo yang menyampaikan pernyataannya kepada publik pada Senin (11/5/2020).
Pemerintah, kata Doni, berusaha agar usaha penanganan corona yang dilakukan sekaligus tidak membawa dampak kehilangan pekerjaan. Untuk itulah, dia menekankan pentingnya menaati aturan dan protokol kesehatan yang ditetapkan.
Sebelumnya dalam pemberitaan media ini, untuk mengatasi dampak ekonomi akibat Covid-19, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyiapkan sejumlah langkah strategis.
Pertama, Pemerintah akan memberikan stimulus bagi perusahaan yang berkomitmen tidak melakukan PHK.
Kedua, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memberikan fasilitas relaksasi dan insentif kepada 56 juta pekerja formal. Fasilitas insentif seperti insentif pajak, dan relaksasi dalam pembayaran kredit.
Ketiga, Presiden Jokowi meminta agar pekerja sektor informal diberikan stimulus dalam program jaring pengaman sosial. Jokowi mengatakan, terdapat 70,5 juta orang yang bekerja di sektor ini.
“Bagi pekerja informal yang masuk kategori miskin dan kelompok rentan miskin pastikan mereka mendapatkan bantuan sosial baik oleh pemerintah pusat maupun daerah,” kata Presiden Jokowi.
Kepala Negara menyebutkan, Pemerintah telah menyiapkan dana sekitar Rp110 triliun yang dialokasikan untuk jaring pengaman sosial (social safety net) bagi masyarakat lapisan bawah. Dana tersebut diberikan agar masyarakat tetap mampu memenuhi kebutuhan pokoknya di tengah pandemi ini.
Keempat, Presiden meminta Kementerian Desa, PUPR, BUMN dan kementerian lainnya memperbanyak program padat karya tunai. Program ini harus dijalankan dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. “Sehingga penyerapan tenaga kerja banyak di situ,” kata Presiden Jokowi.
Kelima, Presiden meminta pekerja migran diberi perlindungan, baik yang sudah pulang ke Tanah Air maupun yang masih berada di luar negeri. “Sehingga mereka betul-betul pada posisi tetap terlindungi dan kita juga telah mengirimkan paket-paket sembako kepada pekerja yang ada di Malaysia dan saya minta ini agar diterus teruskan,” kata Presiden Jokowi.
Keenam, Presiden memprioritaskan pemberian Kartu Prakerja bagi para korban PHK. Program ini akan memberikan insentif bantuan dana Rp600.000 per bulan untuk 4 bulan dan survei Rp50.000 untuk 3 kali survei.
Namun, mengenai program kartu prakerja yang di dalamnya terdapat pelatihan online, dinilai sejumlah kalangan kurang tepat dalam masa krisis saat ini. Apalagi, anggaran yang disiapkan untuk program tersebut mencapai Rp20 triliun, di mana Rp5,6 triliun di antaranya merupakan alokasi untuk pelatihan online.
Korban PHK dinilai lebih membutuhkan bantuan tunai yang diberikan langsung, ketimbang melalui sistem pelatihan.
Refocusing Anggaran Stimulus Saat Krisis
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan, untuk mengatasi masalah PHK, pemerintah perlu melakukan refocusing dari anggaran-anggaran stimulus, terutama Kartu Prakerja.
Menurut Bhima, seharusnya tidak usah perlu ada pelatihan online di tengah kondisi krisis. Program Kartu Pra Kerja termasuk pelatihan online di dalamnya menunjukkan adanya pemaksaan konsep di tengah krisis ekonomi dan penanganan dampak Covid-19.
Menurut Bhima, dana sebesar Rp5,6 Triliun untuk pelatihan online program kartu prakerja amat sangat besar dan tidak efektif bagi korban PHK. “Tidak ada jaminan perusahaan mana yang mau tampung lulusan kartu pra kerja tersebut setelah pelatihan? Jadi ini proyek pepesan kosong. Dilatih tapi tidak ada kejelasan permintaan di pasar tenaga kerja,” kata Bhima.
Bhima mengatakan, kartu pra kerja tidak bisa menjawab kebutuhan korban PHK. “Mereka lebih butuh uang tunai dibandingkan pelatihan online yang isinya mirip YouTube. Harusnya dirombak total menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau cash transfer Rp3,5 juta per orang untuk 4 bulan misalnya kan lumayan,” kata Bhima. Yang terakhir, tambah Bhima, mungkin sudah waktunya pemerintah untuk menurunkan segera harga BBM, tarif dasar listrik. “Sehingga bisa membantu daya beli masyarakat,” kata dia.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyebutkan, Kartu Prakerja mungkin kartu termahal di dunia. “Bisa menghabiskan anggaran Rp5,6 Triliun. Bukan uang siapa-siapa, tapi uang negara. Dihabiskan melalui pencari kerja. Uangnya cuma numpang lewat saja, terus dialihkan ke mitra pelaksana pelatihan online, atau Platform Digital. Modusnya hebat. Canggih. Tapi terlalu nyata. Dan agak kotor,” kata Anthony.
Sementara itu, dari kalangan pengusaha dan bankir, Rezza Artha mengatakan, video pelatihan tersebut harusnya gratis, bukan berbayar, tinggal di-upload di platform media sosial, bisa di YouTube, Instagram, Facebook, dan lainnnya. “Tidak perlu dibatasi pesertanya. Semua rakyat bisa akses, bisa cerdas,” kata dia.
Rezza Artha menambahkan, uang untuk membuat video pelatihan online itu anggaran negara, pakai uang rakyat, uang pajak kita.
“Padahal semestinya negara bisa melaksanakan tujuan tersebut dengan anggaran yang jauh lebih murah. Misalnya dengan proyek pengadaan video saja, di mana video dibeli dan menjadi milik negara. Sehingga bisa dinikmati oleh seluruh rakyat dengan (bahkan) gratis. Misal jika 1 video diberi pagu Rp20 juta saja maka itu dikali 1.300 video hanya akan sejumlah Rp26 miliar. Dan bisa didayagunakan oleh jumlah perserta yang tak terbatas dan waktu yang tak terbatas (hingga anak cucu kita),” ungkap Rezza.
Rezza menegaskan, seharusnya anggaran negara dapat lebih dimaksikmalkan untuk menolong rakyat. Ada rakyat yang kelaparan seperti kita saksikan di media massa. “Prioritaskan anggaran itu untuk rakyat. Itu baru namanya amanah mengemban tugas negara,” kata Rezza.